foto apa ni ya? (foto: noel) |
Beberapa hari yang lalu aku ulang tahun. Aku sadar betul
bahwa usiaku semakin bertambah dan masa pakai tubuhku di dunia fana ini kian
berkurang. Jika dulu aku dapat push up 100 kali tiap pagi, atau berlari 3 kilo
seminggu tiga kali, maka kini mungkim kini tidak lagi se-ngoyo itu. Ibarat aset, barang kali diriku juga mengalami
depresiasi nilai setiap tahunnya. Bagaimanapun juga, ekor telomerase kian
pendek. Seperti kembang api yang makin habis, atau batere laptop yang pasti
akan dol. Maka, mungkin suatu saat,
ketika “nilai buku” diriku sudah begitu kecilnya (dan biasanya secara akuntansi
sudah dianggap tidak ada), maka akan diadakan lelang. Atau lebih buruk
lagi,akan digudangkan, menjadi teman karat dan digerayangi tikus. Finished.
Kalau boleh milih, aku lebih suka dilelang saja. Konon,
pertukaran nilai saat lelang cukup spesial. Contohnya nih, siapa tahu di antara
peserta lelang ada satu dua pemodal yang – entah karena alasan historis atau
romantis – mau menawarku dengan harga setinggi mungkin. Jadi, meskipun nantinya
juga bakal digudangkan (atau dikasih pigura lantas digudangkan), dalam beberapa
menit aku akan sedikit mendapat perhatian. Eh, siapa tahu ada yang memasangku
di e-bay.
Tetapi bisa saja tak seorang pun mau menawar, sehingga
diam-diam si kurator membawaku ke belakang gedung, dan menumpuknya di tong
sampah begitu saja. Lalu dipakai tunawisma sebagai alas tidur. Yah, apapun
hasilnya, sepertinya tetap lebih menarik ketimbang digudangkan.
Ah, tapi kan itu tergantung diriku ini apa. Karena tepat malam
hari pas hari ulang tahunku (yang konon menjelang detik-detik kelahiranku), aku
melihat diriku bukan berupa setumpuk daging dan lemak. Setidaknya karena aku
masih bisa berpikir sejauh ini, maka mestinya jauh lebih berharga dari sekadar
humanoid ... atau android (apalagi BB). Jika aku hanyalah sebatas aset fisik
yang bisa diukur, diraba, dan ditimbang menggunakan indera, maka aku hanyalah
sebatas potongan KTP. Sedikit dibumbui status facebook. Plus sekelumit obrolan ringan di sela coffee break. Namun, kayaknya aku lebih
berharga ketimbang motor yang kupakai atau sederet angka di buku tabungan. Lebih
berharga pula ketimbang pengakuan yang entah wujudnya kayak apa (dan entah ditaruh
di mana).
Dan – dengan sedikit sombong – aku merasa lebih berharga
ketimbang apapun yang kalian pikirkan dan bayangkan. Karena harga itu kan hanya
sekadar simbol untuk menentukan nilai tukar. Sementara aku tidak ingin
ditukarkan menjadi apapun: menjadi artefak di museum miskin, aset mati di
gudang kotor, atau alas tidur tunawisma. Terlebih lagi, aku ini mustahil ditukarkan. Semua
di bawah langit ini hanya bisa merusak fisik dan bla bla bla pengakuan, nama
besar, prestasi, yang abstrak. Tetapi tidak mampu mengubah sesuatu yang di
dalamnya aku mengambil bentuk sendiri secara sadar dan merdeka. Salam Separatooozzz. Bagaimana kita
mengukur waktu sebelum Big Bang?
Apalagi – samar-samar – aku merasakan aroma hutan, angin
gunung, dan pasir pantai di sela-sela jari kakiku. Ada semacam bab yang terlewatkan
ketika melihat ini semua sekadar aset. Ampuhnya lagi, bab tersebut berlaku
sepanjang masa, dan mengalami peningkatan nilai setiap waktu. Seperti emas. Seperti
tanah. Seperti BBM. Seperti – ehem – cinta.
Lalu setelah mengalami bad mood seharian, aku mencoba berani
menjadi sosokku. Seseorang menyebut-nyebut kehendak bebas. Seseorang lagi
menyebut-nyebut kebebasan kehendak. Tetapi aku memiliki keinginan. Mungkin segila
Tom Hanks dalam Saving Private Ryan, atau
seabsurd Columbus berpacu ke India (tapi nyangkut di Indian), atau – bisa jadi –
sekonyol anak kelas 1 SD yang ngomong sama bulan. Tetapi itu bukan lagi soal.
Meski juga belum berupa jawaban.
Ah, tulisanku kayak anak SMP lagi galau gara-gara jerawatan.
Jangan bilang-bilang kalau aku yang bikin tulisan ini yak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar