Kemudian demi kesehatan dan kesejahteraan umat, maka sudah
tiba waktunya bagiku ntuk menuliskan apa yang kudapatkan dari hasil membaca (dengan
pontang-panting) buku-buku dan tulisan mengenai semiotika. Sulit. Sulit putik. Akhirnya, yang paling lama kubaca dan yang
paling banyak kucorat-coret adalah tulisannya Pak Nardi di “Semiotika Negativa”.
Meskipun beliaunya enggan bukunya menjadi referensi, tetapi aku ternyata tidak
memiliki pilihan lain. Lebih tepatnya “sengaja” tidak memiliki pilihan lain
yang lebih mudah. Karena yang lebih sulit dibaca, banyak. (Kayak iklan Hit: “...
Kalau yang lebih mahal, banyak”. Iklan yang dimaksudkan oleh si copywriter agar calon pembeli berpikir
mencari yang lebih baik, bukan yang lebih mahal.) Tapi di sini peduli setan
dengan mencari yang lebih baik. Aku mencari yang lebih mudah. Maklum, mental
proletar: mudah-murah-meriah. Kembali ke topik: aku harus melakukan sesuatu
bersumber dari buku. Ini susahnya. Jauh lebih mudah berkhayal dan berimajinasi.
Baiklah, aku harus memulai. Singkirkan kata “sulit”.
Ah, kata “SULIT”! Bagaimana cara menyingkirkan sebuah kata
yang pada saat menyingkirkannya aku harus menyebutnya? Semakin aku mengatakan “singkirkan
kata sulit”, maka kata “sulit” semakin sering terucap dan menjadi mitos:
bahwasanya sulit untuk menyingkirkan kata sulit. Ini mirip virus HIV. Dikasih sel
darah putih buat menyerang, eh malah dijadikan inang. Benar-benar mirip warga
Hogwarts ingusan yang takut menyebut Voldemort. Dan belakangan memang dengan
menyebut nama Voldemort, maka si “you know who” ini mendapatkan kekuatannya;
pengakuan akan eksistensinya. Diusir adalah sama dengan pengakuan bahwa dirinya
ada.
Aku jadi teringat beberapa kejadian belakangan ini yang
semakin mempertebal keyakinanku bahwa membenci itu adalah pengakuan bahwa
sesuatu yang dibenci itu ada. Sebaliknya, lebih baik dibenci (atau dipukuli)
ketimbang dianggap tidak ada. Diabaikan, dicueki, dan dianggap tidak ada adalah
salah satu bentuk kekerasan verbal
paling menyakitkan (yang justru dilakukan secara non-verbal).
Ingatanku yang kurang kerjaan ini kemudian terbayang
adegan-adegan film “Senyap”. Beberapa tokoh (yang kebetulan berperan antagonis –
lebih tepatnya “anaknya si antagonis”) kerap nian mengatakan “sudahlah, yang
berlalu biarlah berlalu”, “tidak usah diingat-ingat”, “jangan dikorek-korek”, “jangan
membangkitkan rasa sakit”, dan seterusnya. Pengabaian. Menganggapnya tidak ada.
Dalam hal ini, aku jadi bepikir, sebenarnya siapakah yang mengalami trauma?
Korban pembantaian PKI (dan orang-orang yang dianggap PKI), atau justru
pelaku-pelakunya? Karena dengan adanya ketidakberanian dalam mengingat, berarti
ia sedang menjalankan “strategi” agar dirinya tetap waras. Mengalihkan
ingatannya ke dalam bentuk-bentuk heroik, menuliskannya dalam buku perjuangan,
memberi label “demi negara”, memberi alasan-alasan, dan seterusnya ... sampai
kemudian ajal menjemput, dan sekian mikrodetik sebelum arwah terbawa angin,
muncullah kesadaran – bangun – bahwasanya tidur sudah terlampau panjang. Dan orang-orang
yang tidur inilah yang layak dikasihani. Sangat tipikal dengan keyakinan
meminum darah korban agar dirinya tidak gila. Sebenarnya cukup masuk akal. Bukan
pada minum darahnya, tetapi pada pengalihan ingatan traumatiknya ke dalam
tindakan nyata.
Tetapi tentu saja hal ini tidak bisa menjadi ukuran. Sangat tidak
memenuhi kaidah penelitian paling konyol sekalipun.
Ah, pikiranku melayang.
Kembali aku ingat bahwa awal mula aku menulis di sini adalah
sebagai pengalihan atas tulisan lain yang sama sekali belum selesai, tetapi
menjadi sulit selesai karena aku kesulitan. Bahkan kesulitan melihat bahwa hal
tersebut hanya “pura-pura” sulit selesai. Tetapi kata “sulit” ini menyerangku
...
Eh! Bentar. Dalam beberapa menit barusan, aku tidak merasa
kesulitan. Aku merasa gampang. Gampang karena berceloteh soal film “Senyap”
sehingga lupa bahwa aku sedang kesulitan.
Jadi, ini formulasinya. Katakan “ini gampang”. Dan anggap
saja si “tidak-gampang” (yang aku tak mau menyebut namanya) itu tidak ada.
Kucuekin. Jadilah lupa. Buatlah ideologi menyenangkan dan memabukkan bahwa
menulis tugas kuliah itu gampang. Mari berbohong. Supaya tidak gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar