Menulis itu bikin malas. Menulis
membuatku menunda mandi, menunda makan, dan menunda tidur lagi. Tetapi mungkin
menulis jadi salah satu alasan agar aku tetap berpikir dan tidak tidur-tiduran
seperti sayuran sepanjang hari. Lagipula, mungkin karena menulis sesuatu yang
tidak penting justru mengemban misi mulia nan penting untuk menjaga diriku
tetap waras. Terlepas apakah aku waras atau tidak, setidaknya saya menduga kita
sama-sama setuju bahwa kewarasan itu perlu.
Ngelantur soal kewarasan,
jadi ingat bukankah kewarasan itu hanya persoalan kurva normal? Dan siapakah
maha dewa agung yang menciptakan kurva normal sehingga memisahkan manusia dari
waras dengan tak waras? Saya tidak tahu. Pula, saya tak mau menambahi pekerjaan
dengan mencari hal yang tak perlu. Toh, Anda pasti tidak mau memberi fee untuk
itu.
Jelasnya, kurva normal itu
tak perlu dipahami secara akademis dan ndakik-ndakik
scientific thinking oleh mendiang
simbah saya untuk menentukan apakah unggas yang ada ditangannya seekor ayam
atau bebek. Cukup melihat sekilas, beliau tahu betul bahwa ayam jauh berbeda
dengan bebek. Tanpa perlu tes DNA.
Hal ini mungkin muncul lantaran memang ada
semacam garis tegas nyata yang membedakan ayam dengan bebek. Namun di dunia
nyata, tidak semua hal memiliki batas tegas. Kebanyakan justru abu-abu,
gradasi, bersemburat, ... barangkali di titik iniliah seorang pakar statistik menyorongkan
idenya tentang kurva normal.
Kemudian, dari semua silang
sengkarut yang sulit diformulasikan batas “gelap-terang”-nya, terdapat gagasan
mengenai “cinta”. Ini adalah salah satu kata yang sulit untuk kuketikkan. Tadi
saja sempat dua kali salah ketik. Saya yakin, peradaban umat manusia yang sudah
“sundul langit” ini pasti bisa mendefinisikan kata tersebut dengan semakin
tepat. Tetapi, - entah karena tren atau bukan – biasanya definisi dari cinta
akan sangat tergantung dengan kondisi, tempat, dan latar belakang subjek yang
ditanyai.
Coba bertanyalah pada ABG
yang lagi kesengsem sama gurunya, atau pada penjaja seks di tenda remang, atau
pada mahasiswi tingkat satu yang masih euforia pada kebebasan kampus, atau pada
lasykar FPI ... mungkin jawabnya beda. Bahkan bertolak belakang. Celakanya,
jika untuk suatu hal saja tidak ada kesepakatan pemahaman, maka bagaimana hal
tersebut akan bergulir dengan baik seperti yang kita idam-idamkan? Lha wong yang Anda idam-idamkan berbeda
dengan yang saya idam-idamkan!
Mungkin itu sebabnya dunia
cinta dan turunan-turunannya merupakan topik yang tak habis dikupas oleh media
massa, hiburan, sampai bisik-bisik di warung sayur tetangga. Topik ini berhembus
dari yang seakan merupakan cerita basi, sampai kisah yang menuai horor serta
misteri. Di mata keluarga-keluarga muda, mungkin topik ini kerap dianggap
sebagai sesuatu yang “sudah mereka kuasai”, dan dengan sigap mereka suka
membagikan pengalaman-pengalamannya pada junior-juniornya. Bagi keluarga yang
sedikit lebih tua, topik ini mungkin dijauhi. Dianggap basi. Kurang pragmatis,
tidak praktis. Tapi diam-diam mereka berselingkuh seiring menjamurnya puber
kedua ... lalu puber ketiga ... dan seterusnya.
Dan di sini, saya, dengan
tulisan kalang kabut saya, merasa yakin bahwa semua kenisbian di atas memang
harusnya seperti itu. Bak fungsi tokoh Oracle dalam The Matrix sebagai lawan
The Architect. Harus ada sesuatu yang intuitif, tak terkendalikan, dan hanya
dapat dirasakan, serta dipahami dengan hati, bukan kepala. Dengan demikian, dunia
memang jauh lebih asyik.
Lalu apa yang sebenarnya
ingin kuomongkan? Jika Anda penganut aliran bahwa segala tulisan harus ada ide
utama, paragraf deduktif-induktif, piramida terbalik atau bukan, dan ewer ewer
ewer lainnya, saya tidak menyalahkan Anda. Hanya kasihan, bahwasanya Anda
kecele membaca tulisan yang sejak awal tidak terbangun dengan plot tertentu.
Begitu juga dengan ... aduh
... itu tadi. Kata itu tadi lo.
PS: Jangan mencoba mengajari
sayuran untuk berpikir. Ah, sebenarnya saya juga ndak paham, mengajari berpikir
itu bagaimana caranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar