Belum lama ini ia bertanya, "Hidup ini sebenarnya tujuannya apa to?" Nggak sampai 5 detik, dia meneruskan, "Aku ngomong sama diriku sendiri, lho." Aku tidak jadi berkomentar. Kalau tidak salah, aku kembali membenamkan kepalaku ke depan layar monitor. Tetapi tidak lama. Aku telanjur ingin berkomentar, meski aku tak tahu mau kasih komentar apa. Memang mulut ini gampang untuk memberi komentar, ya ... tanpa berpikir, tanpa memikirkan. Itulah sebabnya disebut mulut. Lebih pas lagi disebut "cangkem". Dan bukan brutu, apalagi paha.
Aku hanya teringat bahwa bagi sebagian orang hidup adalah pencapaian. Pencapaian itu bisa bermacam-macam: uang, kekuasaan, seks, kenyamanan ... Bisa juga pencapaian rohani, spiritual, kepenuhan emosi, dan sebangsanya. Mungkin bagi satu dua orang pencapaian itu adalah tubuh kekar berotot.
Dan aku belum mencukur kumis hampir seminggu ini. Tidak ada hubungannya, hehehehe.
Oh ya, tentu ada orang yang pencapaiannya adalah berbuat banyak bagi orang lain. Mengabdikan diri bak Mother Teresa. Jadi pahlawan. dikenang sepanjang masa. Romo Mangun. Gandhi. Martin Luther King. Aung San Suu Kyi. Emmanuel Kurniawan. Dan entah siapa lagi.
Sayangnya, sepertinya -- seperti formula lama -- semua itu hanya efek samping. Hasil sampingan dari perjuangan meraih pencapaian tertentu -- tidak selalu mulia. Saat Diponegoro berkonflik dengan kraton, terus menyerang pasukan-pasukan kolonial, maka ia menjadi pahlawan. Saat Teuku Umar (entah karena pengkhianat atau jenius) menyerang Belanda dengan logistik yang ia dapatkan untuk melawan tentara pribumi, maka ia menjadi pahlawan pula. Selalu ada hal-hal pribadi yang terselip dalam diri pahlawan. Oke, aku memang tidak tahu banyak. Anggap saja ini hipotesis. Dalam hipotesis ini, kuanggap tidak ada perbuatan mulia murni tanpa pamrih. Bagiku pamrih itu hal yang wajar, seyogyanya, dan tidak melawan hukum. Hanya saja di sini ada tarik ulur antara "pencapaian" yang merupakan label (atau penganugerahan gelar pahlawan oleh pemerintah) dengan pencapaian yang merupakan perwujudan kegelisahan pribadi untuk membuat dirinya utuh penuh. Weleh. Dadi abot.
Bicara soal pencapaian tidak bisa dipisahkan dengan keinginan. Selalu ada tempat saat kita selalu berhasrat penuh gairah. Keinginan melayang-layang di antaranya. Dan rasanya "mengekang keinginan" itu tidak selalu benar, sedangkan "mengumbar keinginan" tidak selalu salah. Tentu ada moralitas dan tetek bengek aturan hidup bersama yang harus dipertimbangkan. Bicara soal gairah, sebenarnya aku sedang berhipotesis soal "efek samping". Masih ingat "efek samping" di kalimat pertama paragraf di atas?
Dulu kala ada artikel di internet mengenai sekelompok psikolog yang mengadakan studi kasus mengapa Untung Bebek selalu beruntung, sementara Donal selalu sial. Konon -- menurut resume penelitian itu -- si Untung selalu mengembangkan sikap untuk beruntung. Hal ini memberinya perspektif bahwa keadaan apapun selalu merupakan proses yang memberi ending keberuntungan baginya. Tidak kurang, karena kepercayaan diri akan takhyul keberuntungannya, ia tak pernah ragu-ragu mengambil setiap kesempatan yang lewat di depan hidungnya. Bukan hal buruk. Bukankah "The Secret"-nya Rhonda Byrne kurang lebih juga mengatakan hal yang sama? Dan itu hanya bahasa lain dari sebagian 7 Habit-nya Covey, atau siapapun yang coba-coba mengubah nasib umat manusia dari perspektif.
Dan sepertinya, dengan amat menyesal, pencapaian kita kerap dinilai dari efek samping yang kita hasilkan. Jadi, ketika aku ditanyai apa tujuan hidupku, maka sepertinya jawabanku tak akan mengubah apa-apa. Jadi apapun, jika dilakukan dengan penuh gairah, maka akan menghasilkan efek samping bermutu. Seperti obat FLU yang mampu mengusir virus melalui efek samping membuat tubuh mengantuk. Padahal tubuh kita sendiri yang memiliki kemampuan mengusir influenza. Begitu to?
Rasanya aku mulai belajar puas dengan tujuan-tujuanku, dan menikmati efek sampingnya sepenuh hati. Halah.
Memang ini tulisan tidak penting hehe.
Foto: Lik Min punya, by noel 02/02/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar