05.49 AM. Pagi semacam ini yang tidak begitu kusukai. Aku sudah
bisa membuka mata sekitar 2-3 jam lalu, tetapi rasanya malas untuk bangun. Ingin
terus bermimpi. Seperti nonton film nunggu klimaks yang tak kunjung datang. Seperti
ada benang-benang halus kenikmatan yang memaksaku bersembunyi di bawah selimut,
merayuku habis-habisan untuk tidak membuka mata, sembari tutup telinga
rapat-rapat. Udara yang dingin menerobos ventilasi, bak zat magis ungu tua yang
membuatku tersihir untuk memilih tidur terus. Suara kicau burung, bunyi gesekan
sapu di halaman, gemerincing sepeda anak sekolah yang lewat di depan rumah,
menjadi suara latar yang semakin meninabobokkan. Jangan bangun dulu, sayang. Dunia
bisa menunggu.
Sayangnya, film harus usai, layar panggung harus diturunkan,
dan tak ada lagi yang tersisa untuk dinikmati di alam mimpi. Ini adalah momen-momen
di kala kita akan terasa pening jika memaksa diri tidur terus. Secara biologis,
ini sudah waktunya bangun tidur. Bahkan tubuh biologisku sebenarnya
mengizinkanku bangun sejak 2-3 jam lalu. Jadi, aku harus membuka mata, menguap
lebar-lebar dan selama mungkin, menggeliat sambil menggeram panjang, lalu
terdiam. Mataku menatap atap. Mataku berkabut dengan tahi mata dan segenap
kotoran seperti biasanya. Aku jadi mirip beruang yang selesai hibernasi.
Tetapi, ....
Ah, sial. Mengapa aku berpikir? Tanpa kusuruh pikiran dan
bayangan mentalku melayang ke banyak pekerjaan yang belum usai. Tahu bukan,
pekerjaan yang belum usai (padahal sudah waktunya harus selesai) ibarat serangga
kecil-kecil yang mengerumuni otakmu dan sesekali menyengat jantungmu. Mungkin kalau
digambarkan serangga itu bermata merah besar, ekor lancip yang mengerikan,
serta gigi-giginya yang panjang. Tambahan lagi, mereka suka menyerukan kata-kata
yang sama agar aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Kadang menyuruh, kadang
memaksa, dan seringnya mengomel. Berdengung-dengung menerobos gendang
telingamu. Membuatmu tersiksa.
Lalu biasanya – seperti milyaran orang lain di atas kulit
bumi – orang akan mulai memaksa diri menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.
Jadwal demi jadwal, kencan demi kencan, dari ketegangan deadline yang satu ke
ketegangan deadline yang lain. Tetapi itu adalah orang lain. Sartre bilang “neraka
adalah orang lain”. Dan aku lebih suka bermain di surga.
Karena bagaimana jika hari ini adalah mimpi, dan apa yang
kuimpikan semalaman adalah yang sebenarnya terjadi? Sayangnya, seperti halnya
kita bersusah payah mengingat-ingat kenyataan sebenarnya saat bermimpi, kita
juga kesulitan mengingat detail serta “logika” mimpi saat kita sadar. Jadi,
siapa bilang kalau ini bukan mimpi. Jadi, bisa jadi bahwa segala kesibukan dan
turunannya itu semua hanya mimpi. Kenyataannya, mungkin saat ini aku sedang
tidur-tiduran di bawah hangat sinar matahari di padang rumput harum. Pondok kecil
di sana menebarkan aroma lezat masakan buat makan siang nanti. Ah.
Mungkin seperti Piscine Molitor Patel alias Pi-nya Yann
Martel yang – menurut filmnya – lebih memilih kenyataan yang menyenangkan dan
harmonis. Cuma sayangnya otakku hanya bisa menipu otakku saja, belum otak orang
lain, belum otak binatang dan tanaman, apalagi alam semesta. Ngelantur!
Namun, apapun kesimpulannya, kenyataan itu – terlepas dari
benar terjadi atau fiksi – adalah apa yang saat ini harus dilalui. Untungnya,
kita bisa memilih untuk melaluinya dengan cara semenyenangkan mungkin. Mungkin itu
sebabnya tokoh Chronicle of Narnia semuanya anak-anak, bukan Bruce Willis,
bukan Sylvester Stallone. Karena Peter, Susan, Edmund, dan Lucy Pevensie lebih
suka melihatnya dari kacamata anak-anak; toh mereka masih anak-anak. Jauh dari
magnum-nya Bruce Willis dan M-16 nya Stallone.
Karena itu – di atas semuanya – apapun yang terjadi, sekali
lagi, mari kita melakukannya dengan cara yang semenyenangkan mungkin. Semoga gampang.
Good luck.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar