Jumat, 02 Desember 2011
Kalian Bukan Gila, Hanya Kurang Beruntung
Mungkin aku ini orang gila. Tetapi, tidak perlu cemas. Karena kegilaan itu – bagaimanapun juga – masih merupakan hasil perhitungan statistik bahwasanya mereka yang berada di luar kurva normal adalah tidak waras alias gila. Kenthir!
Namun, aku menyadari bahwa segila-gilanya aku, itu hanyalah bagaimana Anda memandangnya: dari sisi mayoritas, atau dari sisi minoritas. Misalnya begini: anggap saja seluruh dunia ini, lebih dari 97,5% umat manusia, memiliki 1 hidung. Benar? Sekarang coba bayangkan apabila suatu hari ada sejenis gen tertentu yang menyebabkan seseorang berikut keturunannya memiliki 2 buah hidung. Bagaimana tanggapan masyarakat? Pertama yang bereaksi adalah media. Maklum, aktualitas adalah apa yang ingin dilihat/dibaca orang (dan coba tebak, apa yang diinginkan orang gila?). Lalu keluarga orang-orang yang berhidung ganda ini serta merta dimasukkan dalam kategori “aneh”, “langka”, dan sedetik kemudian menjadi “abnormal”, lalu – karena orang-orang secara naluriah merasa tidak nyaman berada di antara sesamanya yang “berbeda” – dimulailah usaha untuk menormalkan keluarga si hidung ganda.
Masalahnya, jika orang-orang yang memiliki hidung ganda itu sebenarnya merasa baik-baik saja (bahkan barangkali diuntungkan karena mampu mencium bau durian masak dari jarak 2 km), dan tidak ingin untuk dioperasi sehingga menjadi memiliki satu hidung seperti sebagian besar manusia (hati-hati untuk tidak mengatakan “seluruh”, karena klaim seperti itu biasanya merupakan langkah awal ketololan kaum mayoritas), maka tentu saja ia memiliki hak untuk tetap mempertahankan hidung gandanya. Toh hal itu tidak melanggar UUD 1945, bukan? Jika ia dipaksa masuk ke sekolah SLB, bukankah tidak ada peraturan dari Kemendiknas bahwa para murid sekolah umum di Republik Indonesia harus berhidung satu? Jadi, ia mestinya harus dihormati seperti selayalnya orang lain. Jika ada orang yang merasa jijik, ya wajarlah. Kita tidak biss mengatur selera orang. Ada banyak orang yang mulutnya sungguh-sungguh berbau, atau tidak pernah gantai pakaian sehingga baunya mirip got, atau penjahat kelamin yang hanya berfokus menatap anggota tubuh tertentu, dan seterusnya. Orang memang beda-beda.
Namun, ternyata yang terjadi adalah mereka yang berhidung ganda dianggap tidak normal. Dicap salah. Tetapi, jangan salah: itu semua hanya tipu-tipu statistik komunal.
Baiklah, misalnya begini. Bahwasanya di suatu masa, seluruh umat manusia berhidung ganda. Lalu tiba-tiba terjadi mutasi genetik sehingga seseorang dan keturunannya berhidung tunggal. Bukankah pada kasus tersebut si hidung tunggal justru dianggap sebagai spesies yang menyimpang? Merusak tatanan? Sekali lagi statistik, bung.
Siapa tahu suatu saat nanti Tuhan mengumumkan bahwa selama ini telah terjadi salah cetak, dan blueprint manusia sesungguhnya adalah berhidung ganda. Nah, lho!
Kembali ke pemikiran awal, mengapa aku sampai bersusah payah menceritakan kasus “hidung ganda versus hidung tunggal” di atas adalah karena begitu juga yang terjadi dengan kegilaan. Aku tidak sedang membahas tentang kerusakan otak secara fisik karena terbentur atau kecelakaan, tetapi lebih pada perspektif dan pilihan untuk melihat, menimbang, dan mengambil keputusan berdasarkan sesuatu yang tidak lazim. Karena tidak lazim, maka dianggap menyimpang, dan bisa-bisa dianggap gila.
Orang-orang gila ini bisa menjadi hebat di mata manusia mayoritas, karena berhasil menaklukan nilai-nilai yang kebetulan juga dikejar oleh sebagian besar manusia normal. Katakanlah Einstein (siapa sih yang tak ingin jenius?), Ford (siapa yang tak mau kaya?), Napoleon (kekuasaannya), Hitler (karena bisa memengaruhi sejarah), … bahkan Gandhi dan Yesus. Mereka adalah orang-orang yang tidak lazim. Beberapa tokoh terhormat tidak berani kita sebut “gila” karena memiliki peran nyata di dunia (atau kita takut disabot pengikut fanatiknya), bahkan kita muliakan sebagai manusia yang luar biasa hebat. Beberapa lagi, karena destruktivitasnya (misalnya Hitler), enteng saja kita sebut “bajingan tengik tidak waras”. Tetapi sobat, sebenarnya mereka ini memiliki kesamaan: berada di luar kurva normal.
Lalu ternyata bahwa berada “di dalam” atau “di luar” kurva normal bukanlah hal yang begitu saja muncul secara genetis (seperti kasus hidung ganda, misalnya). Tetapi ini adalah sebuah pilihan: ikut arus mayoritas, atau bebas menentukan arus sendiri. Bahwasanya ada sesuatu yang dinamakan pilihan! Pilihan tersebut kerap kali dianggap tidak ada, tetapi – thanks God - ternyata ada. Walaupun tak jarang pengikut opsi minoritas lantas dicap ekstrimis, atau setidak-tidaknya sebagai “… pembelaan karena hidup yang gagal”. Bagaimana seumpamanya Siddharta Gautama memilih menjadi raja dan urung menjadi Buddha? Bukankah ia dianggap orang aneh tak tahu diuntung pada awalnya? Bukankah Yesus juga akhirnya disalib? Copernicus dihukum mati? Socrates minum racun?
Tetapi, ternyata di zaman yang kian carut dengan modernitas semu yang marut dan tidak bisa dikatakan beradab ini, ada lagi orang-orang yang terlempar di luar garis normal karena struktur. Orang yang percaya suratan takdir menyebutnya: nasib. Tetapi struktur bisa dirombak, kodrat biso diwiradhat! Orang-orang ini misalnya mereka yang sejak lahir kebetulan jadi anak dari orang tua miskin di negara dunia ketiga melarat yang sarat korupsi dan pemerintahnya gemar bermastrubasi dengan pencitraannya sendiri (kok jadi inget sebuah negara di Asia Tenggara ya?). Orang-orang ini, kemungkinan besar tidak akan jauh berbeda dengan orang tuanya. Pendidikan berbayar mahal, televisi mengampanyekan gaya hidup yang tak mungkin mereka beli, dan muncul konsensus umum bahwa “beradab”, “maju”, dan “selayaknya” adalah menjadi seperti artis-artis sinetron di layar kaca (bukan di kehidupan real mereka). Terus muncul konsensus lanjutan bahwa hidup ini memiliki strata “keperadaban”: mereka yang alay, katrok, ke sekolah cuma naik motor butut (jadi inget mantan menteri yang hampir ditolak masuk ke Istana Negara gara-gara menggunakan mobil butut, emang agak-agak kok penghuni rumah itu), tidak mampu beli pulsa HP, dibanjiri promosi menjadi kaya dalam sekejap, dicekoki seminar menjadi kaya dalam sekejap tanpa hutang … dan – demi Tuhan – seterusnya, dianggap sebagai kaum berstrata bawah. Dan mereka yang hidup mapan sejal lahir, bebas sekolah di mana saja, bebas makan apa saja di mana saja, bisa beli apa saja, ibarat menjadi dewa-dewi di awang-awang.
Tentu mungkin beberapa kalian akan mengatakan, “Tapi ini kan hasil usaha kerasku, karena ketekunanku, kerajinanku?” Mungkin benar. Tetapi bukan itu poinnya. Jika kehendak bebas mewujud dalam suatu kapitalisme (free-trade, free-market), maka mangsa berikutnya adalah demokrasi. Mirip suicide-system dari peradaban. Sad, but I believe it’s true (kapan-kapan nulis ttg ini ah). Tetapi sekali lagi struktur bisa dirombak, kodrat biso diwiradhat!
Jadi saudara-saudara yang merasa dianggap “sakit”, dicap “freak”, distigma buruk, tenang saja. Aku tidak lebih baik dari kalian. Kalian yang menderita AIDS, bersyukurlah karena kalian memiliki kesadaran untuk melihat kehidupan dari sisi lain. Ibu penjual lotek yang kempas-kempis menyekolahkan cucunya (“Sekolah negeri tetep wae mbayare jut jut … negoro iki nggone wong sugih thok po?”), tenang saja … dunia ini milik kalian meskipun negara ini mungkin bukan punya kalian, dan bersyukurlah karena dengan demikian anak-cucu panjenengan luput menjadi caleg dan DPR … yang tentunya lebih hewani daripada nabati – eh – manusiawi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
like!
BalasHapus