“Pasti ada maksud, mengapa Tuhan membiarkan kita lahir di dunia ini sendiri-sendiri (tentu kecuali kasus kembar siam, misalnya). Pasti ada sebab, mengapa kia tidak lahir tanpa pasangan, kekasih, cinta mati kita, dalam satu kali melahirkan. Seandainya demikian, hidup akan jauuuh lebih sederhana. Sinetron-sinetron akan tidak laku dan kehilangan sengatnya. Namun, sekali lagi … pasti ada maksud tertentu”
Mon ami, ini
saatnya aku curhat. Dalam sebuah blog yang – thx God – anonymous ini, rasanya
tak salah jika di hari Minggu yang nyaman dan tenang ini aku sedikit
mengungkapkan atau lebih tepatnya “menelorkan” … membersihkan ingus kering … uthik-uthik upil, ngorek curek. Seperti
yang sering kutulis di blog-ku dulu yang sudah koit, menulis bagiku adalah
sarana agar tetap dianggap waras. Aku ini waras tetapi tidak gila.
Nah, begini ceritanya. Seperti
yang barusan aku SMS-kan ke seorang temanku, “Ra duwe yang ki anugerah.” Tidak punya pacar itu anugerah. (Perkara
kalian akan membatin bahwa ini adalah suara sarkastik agar Tuhan tersindir, itu
soal lain. Ga ada gunanya membuat Beliau tersindir. Lagi pula aku bukan orang
yang suka menyindir. Say it or telan
saja!) Bagaimanapun juga, tidak punya pacar adalah suatu hak asasi setiap
manusia. setiap orang punya hak untuk menerima suatu kondisi yang di dalamnya
ia tak memiliki kendali 100%. Dan tak satupun manusia memiliki kendali 100%
atas sesuatu, bukan?
Hahaha … aku kangen dengan
tulisanku sendiri yang muter-muter kayak jejak jangkrik gini. Hahaha. (Itulah
sebabnya tulisan ini disebut blog. Bukan The
Fundamental of Thermodynamics in Planet Tatooine by Master Jedi.)
Melanjutkan soal SMS-ku, aku
jadi ingat suatu hari dahulu kala tatkala aku barusan putus dengan pacar … eh …
mantanku. Katakanlah sekitar tahun 2001 (zaman es di kutub masih banyak). Saat itu
berbagai ucapan “belasungkawa” mengalir. Sayang, tidak disertai sekadar
sumbangan tali kasih. Akibatnya, aku merasa menjadi korban. Sah untuk berurai
air mata menjelang tidur. Sah untuk bermalas-malasan di ranjang berjam-jam
sebelum bangun tidur … bolos kuliah … main gitar sampai sore, nongkrongin kos
teman sampai pada bosan, dan menggubah banyak sekali puisi yang nadanya
merengek-rengek minta keadilan dan agar Tuhan “membuka” mata-Nya. Aku jadi
manja.Tapi memang – bahkan terjadi sampai sekarang – bahwasanya menit-menit
paling berat adalah saat menjelang tidur. Batas antara sadar ke tidak sadar. Saat
sesuatu yang di bawah sadar berlompatan keluar seperti katak-kataknya Nabi Nuh
di Mesir. Sungguh, tak sedap walaupun ditambahi micin dan saus kerang
sekalipun.
Putus cinta yang kedua terjadi
sekitar 5 tahun lalu. Saat itu aku “dipaksa” untuk lebih profesional. Melupakan
rencana-rencana “profesional” yang kandas, lantas menciptakan ranah baru yang
saat itu terasa lebih baik. Walaupun lama setelahnya aku menyadari bahwa ranah
tersebut tak ubahnya seperti pelarian dari lorong yang satu ke lorong yang
lain. Kabar baiknya, teman-temanku sudah mulai profesional. Mereka tak
memanjakan aku. Realitas datang tak bisa dihindari, tetapi justru itulah yang
kubutuhkan saat itu. Satu-satunya hal yang patut disayangkan adalah peristiwa
itu tanpa sadar mengubah sasaran taktis dalam hidupku menjadi mirip bangunan
kalang kabut 5 tahun sebelumnya. Namun saat itu sungguh aku belajar banyak.
Jauh lebih banyak ketimbang kuliah 8 tahunku. Dan aku bisa melupakannya dengan
lebih cepat. Meski kadang tak tuntas.
Terakhir aku putus dengan
pacarku (yang lain lagi) terjadi beberapa bulan lalu. Sangat berat, kompleks,
multidimensi, dan melibatkan banyak orang. Tidak cukup disebut sebagai “orang
ketiga”, tetapi sampai ke “orang keempat, kelima, keenam” .. bahkan jamak. Di situ
aku mulai belajar untuk tidak memercayai logikaku. Karena setiap orang yang
patah hati pasti tahu bahwa kehidupan memiliki silogisme sendiri yang kadang
absurd. Dan terjadilah. Tepat saat hidupku sedang surut di dasar terendah dalam
satu dasawarsa terakhir. Aku hanya bisa membandingkannya dengan peristiwa 12
tahun lalu. Celakanya, kini aku tak punya banyak teman. Kalaupun ada,
perspektif mereka sudah “terlalu dewasa”, “terlalu tua”, seakan soal
pacar-pacaran adalah hal sepele, jauh lebih spele ketimbang memberi makan
anak-anak, menjaga istri bahagia, dan – tentu saja – mengejar karier. Aku tidak
mendebatnya. Mungkin memang demikian. Pun bahwasanya tingkat kegawatan suatu
peristiwa tidak pernah tidak subjektif. Dalam dunia subjektivitasku yang samar,
aku terpelanting.
Dan unfortunately, aku merasa kesepian sekaligus sendirian. Tidak bisa
mencari kambing hitam, tidak bisa menyalahkan Tuhan, dan stuck. Aku berusaha melakukan sesuatu dan menggapai apapun yang
bisa dipegang agar tidak terjerembab. Namun semua menjadi tidak nyata. Seperti memeluk
hologram-nya Star Trex. Dan hidup ini menjadi sebuah panggung hologram yang
besar. I wanna shut down the operating
system. ASAP. Tetapi aku bukan Neo, bukan Captain America, dan bukan Jesse
James. Bukan Sri Sultan HB IX! Aku tidak melakukan apa-apa.
Lalu aku menunggu.
Indeed, satu-satunya
hal yang setia di alam raya setelah big
bang adalah sang kala. Waktu. Selain menyebalkan, waktu bisa menjelaskan …
pelan-pelan dan sabar. Hingga suatu saat aku merasa beruntung bahwa hari ini
aku masih di sini dan sendiri.
Dompetku masih cekak, salah
satu tabunganku baru saja hangus karena tak pernah ada saldonya, tetapi aku
merasa lebih kaya. Bahwa ini semua bukan soal status atau grade. Tidak punya pacar itu juga hak. Mencintai siapapun itu juga hak.
Dan dalam kesendirian kali ini, mungkin aku bisa membersihkan bugs dan temporary files yang mengotori sistemku. Hehe. Suwer,
kotoran-kotoran itu barangkali menumouk sejak aku mengalami first love in the forst sight sekitar ..
ehem … kelas 1 SMP duluuuuu kala.
Berbahagialah sobat-sobatku
yang sudah menikah, yang sudah momong anak, yang sudah sibuk membangun rumah;
karena fokus hidupnya sudah berkembang ke episode selanjutnya. Berbahagialah mereka
yang baru saja kawin, baru saja dapat pacar, atau mau menikah; welcome to the
jungle. Berbahagialah juga mereka yang masih sendirian … itu artinya dia
pemberani. Jagoan.
Jika Tuhan menganggapmu butuh
seseorang, Ia pasti memberi. Tapi kalau Ia tidak menganggap demikian, anggap
saja sebagai pujian. Karena toh kalian beruntung bahwa Sang Pencipta
menganggapmu cukup layak jalan tanpa harus ditopang orang lain. Atau kalau
boleh secara lebih rohani, dirimu seorang sudah mampu mencitrakan gambaran
Pencipta tanpa harus dipadukan dengan orang lain.
Tapi jika keadaan berubah,
katakanlah misalnya sore ini sosok imajiner yang ada dalam benakku seumur
hiduku tiba-tiba berwujud nyata di hadapanku … so … why not?
Foto: salah satu properti di
pentas “Mozo-Mozo”, Taman Budaya Yogya, 7 Juni 2009. Captured by Noel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar