PERINGATAN: tulisan tidak penting!
Kadang menulis di blog itu tidak memerlukan alasan dan jadwal. Sudah berbelas kali upaya menjadwalkan menulis di tempat ini menjadi buyar bubrah. Energi yang digunakan untuk menjadwalkan terlalu besar sehingga jadwal yang muncul tak lagi menarik. Benar kata Mas Bimo kemarin bahwa membuat sesuatu itu kadang-kadang harus pakai strategi "
mlaku sik". Emoh kalau tenaga terserap habis di level membuat sistem. Pun -- nyaris sama -- menulis di blog (khususnya blog yang ini) tidak bisa dijadwalkan seperti
boker di pagi hari atau sarapan di jam 12.00. Ah, sungguh berbeda dengan ibadah Minggu atau sholat lima waktu.
Dan semua yang "
kukecretkan" di sini belum menyentuh lapisan esensial sperti "apakah yang akan kutulis", "dengan cara seperti apa", "sebagus apa", dan -- terlebih lagi -- "buat apa?". Hadeeh. Aku bisa membayangkan beberapa orang yang kukenal lantas tutup mata dan telinga, melihat jijik pada rencana semerta-merta tanpa jadwal tujuan dan motif seperti ini. Padahal justru inilah menariknya hidup. Ketika ada hal-hal tertentu yang bisa dikerjakan tamnpa harus susah payah membuat rancangan.
Tetapi ya tidak lantas harus selalu begitu,
Ngono yo ngono ning yo ojo ngono. Paragraf di atas hanya sekadar dekonstruksi atas jatuh-bangun upayaku membuat diriku menjadi teratur. Sudah lama aku mencium gelagat bahwa aku-yang-sok-teratur ini sebenarnya menyembunyikan kecenderungan bawah sadar untuk tidak teratur, acak-acakan, dan tanpa tujuan. Ataukah ini hanya semacam hukum kekekalan entropi; ketidakteraturan di suatu tempat hanyalah ekses dari keteraturan di tempat lain? Namun di hukum tersebut juga di-
jlentreh-kan bahwa ketidakaturan itulah pangkal energi. Nah, output energi inilah yang lantas diatur sedemikian rupa.
Tanpa berusaha mengkhianati alur berpikirku, aku jadi tergoda untuk menyinggung soal mood. Demi Tuhan dan segala dewa yang hidup dan yang mati, aku sangat sering gagal memaksa diriku melakukan sesuatu saat mood-ku sedang jatuh. Sungguh, ini bukan hal yang baik. Tidak disarankan. Jangan dicontoh. Dan sampai detik ini aku masih berupaya agar tetap tegar menghadapi naik-turunnya mood. Seni mengelola mood itu sangat penting dan vital kegunaannya. Sayangnya mood itu datangnya mirip hantu, tidak bisa diduga. Mirip kiamat. Mirip maling. Belum lagi jika mood-ku mengalami resonansi dengan mood orang-orang lain. Mudah jatuh bangun. Bangunnya butuh waktu berjam-jam, jatuhnya hanya sekian detik. Seperti pagi ini tadi: mood jatuh hanya gara-gara baca berita di koran. Nah, perihal mood ini, kupikir salah satu hal yang penting adalah semangat untuk merebut kembali kedaulatan dan hak asasiku atas mood pribadiku. Tak seorang pun yang berhak merampas dan mengubah mood-ku. Merdeka!
Dan mood di atas ternyata bersaudara dengan energi yang berpusar-pusar mencari jalan keluar. Tak jarang mood yang dipaksa naik demi mengejar target akan berimbas pada "penganiayaan-diri-sendiri". Bukankah lebih baik menghentikan sementara dan menghirup kopi satu-dua menit? Eh, tapi deadline kan tidak mengenal mood. Ia mirip gergaji mesin yang memotong tanpa seni, berbunyi tanpa mimpi, dan meraung sesuai ketukan waktu yang tepat. Jadi si deadline ini adalah anak pungut yang semena-mena. Jadilah di ruang kelas kepalaku ada si deadline yang kaku, penuh konsekuensi, dan tak bisa dibujuk. Ada juga si mood yang mudah melambung tapi juga mudah terjatuh. Si mood ini bisa dibujuk asal cukup perhatian. Selain itu ada tugas-tugas pentng yang harus dikerjakan bersama oleh si mood dan si deadline. Aku adalah fasilitator.
Si mood mudah dibujuk. Si deadline pintar membuat perencanaan. Bagaimana jika si deadline membuat perencanaan untuk FAQ atau SOP jika si mood jatuh (atau dalam hal ini memelihara si mood)? Sebagai gantinya bagaimana jika si mood berusaha senantiasa memberi warna pada si deadline agar tidak terkesan kaku? Nah. Problem (almost) solved. Si deadline dan si mood bahu membahu membuat tugas-tugas kuliah.
Namun saudara-saidara, tulisanku tidak akan berhenti di titik pembahasan soal mood. Ini juga membahas soal kelompok manusia: bagaimana suatu organisasi berjalan berdasarkan visi. Entah mengapa ada suatu waktu di mana si mood ini tanpa sadar berpura-pura jadi si deadline. Jadinya kalang kabut. Apalagi jika beliaunya menduduki fungsi eksekutif. Karena di manapun, di era konvergensi (kala filosofi hidup tahun 90-an sudah basi) ini, kecepatan dan akurasi bukan saja turunan dari soal teknis, tapi juga non-teknis. Butuh kerja sama harmonis antara di deadline dengan si mood. Nah, jika si mood yang pura-pra jadi si deadline ini gagal membuat deadline (karena diubahnya sesuka hati), maka para moodiests di bawahnya akan mencak-mencak, dan segerombolan deadlineists juga akan "makan orang" saking dongkolnya.
Sebenarnya hal buruk yang nyaris sama juga bisa terjadi jika si deadline pura-pura jadi si mood. Karena moodnya jadi tak bisa dimengerti: kaku, bisa ditebak, garing, bikin capek.
Intinya di sini -- atas nama tulisan yang membingungkan ini -- adalah bagaimana kita menjadi diri sendiri tanpa diintervensi oleh "diri sendiri" dan orang lain, tanpa menyalahkan keadaan, tetapi justru memodifikasi situasi sebagai berkah yang olehnya sang semesta sesuai dengan perhitungannya yang rumit (saking rumitnya maka anggap saja "semerta-merta") menunjukkan dirinya pada kita sedikit demi sedikit, sambil tertawa.
Dan satu hal lagi, tertawa adalah bahasa yang bisa dipahami dengan cepat oleh si deadloine dan si mood. Jangan mengumpat, jangan mengeluh, bahkan kadang jangan berpikir. Tertawa sajalah.