Kamis, 05 Maret 2015

Pagi Pohon

Pagi hari itu selalu menakjubkan. Sehitam apapun nasibmu, seburuk apapun sarapanmu, fajar yang merekah dengan konsisten memberi nuansa yang hangat dan menyenangkan. Bahkan ketika udara terasa pengap dan langit berwarna kelabu, pagi masih menyisakan kesegaran dan kemilau. Walaupun hanya bisa dibayangkan, karena berada di balik gemawan.

Keindahan dan pesona pagi bisa kamu lihat lewat matamu. Sejuknya udara bisa kamu rasakan lewat kulit dan bulu-bulu halus hidungmu. Namun, segenap keindahan yang bisa tercerap oleh pancaindera itu adalah satu hal. Dan hal yang lain – yang cukup berbeda dengan itu – adalah konsep mengenai pagi itu sendiri. Cobalah membayangkan pagi hari. Apa yang terlintas di benakmu? Suara burung, sinar matahari, langit biru lembut, sinar kuning-oranye di ufuk timur? Atau bisa dipanjang-panjangkan menjadi suara deburan ombak, senyuman, nasi goreng, kekasih, ... dan seterusnya dan seterusnya. Asosiasi memang kerap menjadi pintu akan banyak hal. Menyembunyikan yang ditahan-tahan, katanya. Pagi kerap bermain sebagai pemantik.

Sabtu, 13 Desember 2014

Sulit

Kemudian demi kesehatan dan kesejahteraan umat, maka sudah tiba waktunya bagiku ntuk menuliskan apa yang kudapatkan dari hasil membaca (dengan pontang-panting) buku-buku dan tulisan mengenai semiotika. Sulit. Sulit putik.  Akhirnya, yang paling lama kubaca dan yang paling banyak kucorat-coret adalah tulisannya Pak Nardi di “Semiotika Negativa”. Meskipun beliaunya enggan bukunya menjadi referensi, tetapi aku ternyata tidak memiliki pilihan lain. Lebih tepatnya “sengaja” tidak memiliki pilihan lain yang lebih mudah. Karena yang lebih sulit dibaca, banyak. (Kayak iklan Hit: “... Kalau yang lebih mahal, banyak”. Iklan yang dimaksudkan oleh si copywriter agar calon pembeli berpikir mencari yang lebih baik, bukan yang lebih mahal.) Tapi di sini peduli setan dengan mencari yang lebih baik. Aku mencari yang lebih mudah. Maklum, mental proletar: mudah-murah-meriah. Kembali ke topik: aku harus melakukan sesuatu bersumber dari buku. Ini susahnya. Jauh lebih mudah berkhayal dan berimajinasi.

Baiklah, aku harus memulai. Singkirkan kata “sulit”.

Ah, kata “SULIT”! Bagaimana cara menyingkirkan sebuah kata yang pada saat menyingkirkannya aku harus menyebutnya? Semakin aku mengatakan “singkirkan kata sulit”, maka kata “sulit” semakin sering terucap dan menjadi mitos: bahwasanya sulit untuk menyingkirkan kata sulit. Ini mirip virus HIV. Dikasih sel darah putih buat menyerang, eh malah dijadikan inang. Benar-benar mirip warga Hogwarts ingusan yang takut menyebut Voldemort. Dan belakangan memang dengan menyebut nama Voldemort, maka si “you know who” ini mendapatkan kekuatannya; pengakuan akan eksistensinya. Diusir adalah sama dengan pengakuan bahwa dirinya ada.

Aku jadi teringat beberapa kejadian belakangan ini yang semakin mempertebal keyakinanku bahwa membenci itu adalah pengakuan bahwa sesuatu yang dibenci itu ada. Sebaliknya, lebih baik dibenci (atau dipukuli) ketimbang dianggap tidak ada. Diabaikan, dicueki, dan dianggap tidak ada adalah  salah satu bentuk kekerasan verbal paling menyakitkan (yang justru dilakukan secara non-verbal).

Ingatanku yang kurang kerjaan ini kemudian terbayang adegan-adegan film “Senyap”. Beberapa tokoh (yang kebetulan berperan antagonis – lebih tepatnya “anaknya si antagonis”) kerap nian mengatakan “sudahlah, yang berlalu biarlah berlalu”, “tidak usah diingat-ingat”, “jangan dikorek-korek”, “jangan membangkitkan rasa sakit”, dan seterusnya. Pengabaian. Menganggapnya tidak ada. Dalam hal ini, aku jadi bepikir, sebenarnya siapakah yang mengalami trauma? Korban pembantaian PKI (dan orang-orang yang dianggap PKI), atau justru pelaku-pelakunya? Karena dengan adanya ketidakberanian dalam mengingat, berarti ia sedang menjalankan “strategi” agar dirinya tetap waras. Mengalihkan ingatannya ke dalam bentuk-bentuk heroik, menuliskannya dalam buku perjuangan, memberi label “demi negara”, memberi alasan-alasan, dan seterusnya ... sampai kemudian ajal menjemput, dan sekian mikrodetik sebelum arwah terbawa angin, muncullah kesadaran – bangun – bahwasanya tidur sudah terlampau panjang. Dan orang-orang yang tidur inilah yang layak dikasihani. Sangat tipikal dengan keyakinan meminum darah korban agar dirinya tidak gila. Sebenarnya cukup masuk akal. Bukan pada minum darahnya, tetapi pada pengalihan ingatan traumatiknya ke dalam tindakan nyata.

Tetapi tentu saja hal ini tidak bisa menjadi ukuran. Sangat tidak memenuhi kaidah penelitian paling konyol sekalipun.  

Ah, pikiranku melayang.

Kembali aku ingat bahwa awal mula aku menulis di sini adalah sebagai pengalihan atas tulisan lain yang sama sekali belum selesai, tetapi menjadi sulit selesai karena aku kesulitan. Bahkan kesulitan melihat bahwa hal tersebut hanya “pura-pura” sulit selesai. Tetapi kata “sulit” ini menyerangku ...

Eh! Bentar. Dalam beberapa menit barusan, aku tidak merasa kesulitan. Aku merasa gampang. Gampang karena berceloteh soal film “Senyap” sehingga lupa bahwa aku sedang kesulitan.


Jadi, ini formulasinya. Katakan “ini gampang”. Dan anggap saja si “tidak-gampang” (yang aku tak mau menyebut namanya) itu tidak ada. Kucuekin. Jadilah lupa. Buatlah ideologi menyenangkan dan memabukkan bahwa menulis tugas kuliah itu gampang. Mari berbohong. Supaya tidak gila. 

Senin, 29 September 2014

Void

Entah bagaimana, aku lalu memikirkan kesendirian. Ini tentu bukan hal yang tabu. Memang, manusia dikenal sebagai makhluk yang hidupnya berkoloni, membentuk masyarakat, saling menopang (dan saling menghancurkan). Mirip bakteri. Virus. Makhluk sosial, kata guruku SMP dulu. Tetapi itu bukan berarti bahwa manusia tidak membutuhkan kesendirian. Dan satu-satunya kesendirian yang bisa dicapai seseorang adalah kesendirian relatif terhadap masyarakat. Menciptakan jarak, membangun waktu jeda: sehingga ada waktu untuk bereaksi terhadap apa yang terjadi di "bawah matahari".

Ibuku sering memberi ilustrasi pohon pisang. Katanya, segerombolan tunas pisang memang harus diceraikan agar bisa tumbuh besar dan dan berbuah baik. Dan itulah yang sering dilakukan bapakku dulu. "Memencarkan" tunas-tunas muda pohon pisang yang mungkin tingginya baru 1 meter, untuk ditanam di tempat terpisah. Di tempat baru itu, si tunas muda akan menumbuhkan tunas-tunas baru, hingga suatu saat nanti si tunas-tunas paling baru akan mendapatkan kesempatan untuk dipisahkan. Hidup berlangsung melalui periode-periode demikian; bersatu, berpisah, bersatu, dan berpisah ....

Hal itu menyebabkan aku tidak percaya pada komunitas sebagai satu-satunya jalan keluar. Komunitas yang baik hanya bisa terus baik jika individualitas (ini kalau aku tak salah sebut) masing-masing anggotanya dihargai. Individualitas di sini bukanlah "individualitas" berkonotasi negatif (yang sering kita dengar dikaitkan dengan individualistis, egoisme, dan - bahkan - keserakahan). Melainkan penghargaan atas individu dengan segala corak dan ragamnya. Selera, gaya, keinginan, tujuan, maksud, bahkan bahasa dan "bahasa" yang digunakan untuk mewujudnyatakan dirinya di tengah komunitas. Lebih luas lagi, di tengah masyarakat.

Minggu, 21 September 2014

Urip

Ngerti ra, sakjatine urip ki nyebahi banget. Nyuebahiii buangiit. Tenan kuwi. Mangkane uwong sing do wis mati kae do ra gelem urip maneh. Lha ngopo urip maneh? Lha mati ki wis kepuenak je. Rasah mikir urip sing nyebahi kuwi. Mangkane bangsane lelembut koyo wewe, gendruwo, lan wedon kuwi nek marani manungsa yo sakjane mung ngece. Mangkane kerep le ngguyu, lha ngece: “Horoh kowe manungsa, kapokmu kapan? Ngopo isih urip? Wong urip nyebahi ngene kok yo isih gelem urip?”

Neng aku yo ra kepingin kebangeten le sengit karo urip. Lha piye maneh? Aku ki isih urip je. Lha buktine iki aku iso ngetik terus mbok woco. Neng yo nek mbiyen sakdurunge lair oleh milih ngono paling aku milih dadi kewan. Kewan ki ampuh lho. Opo malah tanduran. Luwih ampuh.

Nek jare Jacques Lacan, manungsa ki sakjane malah mung “penurunan” alias retardasi saka kewan. Tur maneh kabeh manungsa kuwi laire prematur. Dadi sakjane ki manungsa neng wetenge simbok isih butuh wektu luwih suwe, eh lhadalah malah wis babaran. Mangkane kowe iso weruh jaran utawa semut utawa asu, mbasan lahir ora let suwe iso urip dhewe, njegog, ngising, kawin, rasah diajari. Bedo karo uwong. Pirang-pirang taun mung isane menthil, bar kuwi nangis. Malah nganti lulus kuliah wae ora iso ngopo-ngopo. Isane mung kawin. Kuwi wae nek ono sing dikawini tur umpomo wong tuwamu cukup sugih dadi gampang golek besan. Lha nek ora? Rak yo mung lojon karo cenggur to? Yo ra dul?

Rabu, 16 Juli 2014

Senin, 02 Juni 2014

Si D dan M

PERINGATAN: tulisan tidak penting!

Kadang menulis di blog itu tidak memerlukan alasan dan jadwal. Sudah berbelas kali upaya menjadwalkan menulis di tempat ini menjadi buyar bubrah. Energi yang digunakan untuk menjadwalkan terlalu besar sehingga jadwal yang muncul tak lagi menarik. Benar kata Mas Bimo kemarin bahwa membuat sesuatu itu kadang-kadang harus pakai strategi "mlaku sik". Emoh kalau tenaga terserap habis di level membuat sistem. Pun -- nyaris sama -- menulis di blog (khususnya blog yang ini) tidak bisa dijadwalkan seperti boker di pagi hari atau sarapan di jam 12.00. Ah, sungguh berbeda dengan ibadah Minggu atau sholat lima waktu.

Dan semua yang "kukecretkan" di sini belum menyentuh lapisan esensial sperti "apakah yang akan kutulis", "dengan cara seperti apa", "sebagus apa", dan -- terlebih lagi -- "buat apa?". Hadeeh. Aku bisa membayangkan beberapa orang yang kukenal lantas tutup mata dan telinga, melihat jijik pada rencana semerta-merta tanpa jadwal tujuan dan motif seperti ini. Padahal justru inilah menariknya hidup. Ketika ada hal-hal tertentu yang bisa dikerjakan tamnpa harus susah payah membuat rancangan.

Tetapi ya tidak lantas harus selalu begitu, Ngono yo ngono ning yo ojo ngono. Paragraf di atas hanya sekadar dekonstruksi atas jatuh-bangun upayaku membuat diriku menjadi teratur. Sudah lama aku mencium gelagat bahwa aku-yang-sok-teratur ini sebenarnya menyembunyikan kecenderungan bawah sadar untuk tidak teratur, acak-acakan, dan tanpa tujuan. Ataukah ini hanya semacam hukum kekekalan entropi; ketidakteraturan di suatu tempat hanyalah ekses dari keteraturan di tempat lain? Namun di hukum tersebut juga di-jlentreh-kan bahwa ketidakaturan itulah pangkal energi. Nah, output energi inilah yang lantas diatur sedemikian rupa.

Tanpa berusaha mengkhianati alur berpikirku, aku jadi tergoda untuk menyinggung soal mood. Demi Tuhan dan segala dewa yang hidup dan yang mati, aku sangat sering gagal memaksa diriku melakukan sesuatu saat mood-ku sedang jatuh. Sungguh, ini bukan hal yang baik. Tidak disarankan. Jangan dicontoh. Dan sampai detik ini aku masih berupaya agar tetap tegar menghadapi naik-turunnya mood. Seni mengelola mood itu sangat penting dan vital kegunaannya. Sayangnya mood itu datangnya mirip hantu, tidak bisa diduga. Mirip kiamat. Mirip maling. Belum lagi jika mood-ku mengalami resonansi dengan mood orang-orang lain. Mudah jatuh bangun. Bangunnya butuh waktu berjam-jam, jatuhnya hanya sekian detik. Seperti pagi ini tadi: mood jatuh hanya gara-gara baca berita di koran. Nah, perihal mood ini, kupikir salah satu hal yang penting adalah semangat untuk merebut kembali kedaulatan dan hak asasiku atas mood pribadiku. Tak seorang pun yang berhak merampas dan mengubah mood-ku. Merdeka!

Dan mood di atas ternyata bersaudara dengan energi yang berpusar-pusar mencari jalan keluar. Tak jarang mood yang dipaksa naik demi mengejar target akan berimbas pada "penganiayaan-diri-sendiri". Bukankah lebih baik menghentikan sementara dan menghirup kopi satu-dua menit? Eh, tapi deadline kan tidak mengenal mood. Ia mirip gergaji mesin yang memotong tanpa seni, berbunyi tanpa mimpi, dan meraung sesuai ketukan waktu yang tepat. Jadi si deadline ini adalah anak pungut yang semena-mena. Jadilah di ruang kelas kepalaku ada si deadline yang kaku, penuh konsekuensi, dan tak bisa dibujuk. Ada juga si mood yang mudah melambung tapi juga mudah terjatuh. Si mood ini bisa dibujuk asal cukup perhatian. Selain itu ada tugas-tugas pentng yang harus dikerjakan bersama oleh si mood dan si deadline. Aku adalah fasilitator.

Si mood mudah dibujuk. Si deadline pintar membuat perencanaan. Bagaimana jika si deadline membuat perencanaan untuk FAQ atau SOP jika si mood jatuh (atau dalam hal ini memelihara si mood)? Sebagai gantinya bagaimana jika si mood berusaha senantiasa memberi warna pada si deadline agar tidak terkesan kaku? Nah. Problem (almost) solved. Si deadline dan si mood bahu membahu membuat tugas-tugas kuliah.

Namun saudara-saidara, tulisanku tidak akan berhenti di titik pembahasan soal mood. Ini juga membahas soal kelompok manusia: bagaimana suatu organisasi berjalan berdasarkan visi. Entah mengapa ada suatu waktu di mana si mood ini tanpa sadar berpura-pura jadi si deadline. Jadinya kalang kabut. Apalagi jika beliaunya menduduki fungsi eksekutif. Karena di manapun, di era konvergensi (kala filosofi hidup tahun 90-an sudah basi) ini, kecepatan dan akurasi bukan saja turunan dari soal teknis, tapi juga non-teknis. Butuh kerja sama harmonis antara di deadline dengan si mood. Nah, jika si mood yang pura-pra jadi si deadline ini gagal membuat deadline (karena diubahnya sesuka hati), maka para moodiests di bawahnya akan mencak-mencak, dan segerombolan deadlineists juga akan "makan orang" saking dongkolnya.

Sebenarnya hal buruk yang nyaris sama juga bisa terjadi jika si deadline pura-pura jadi si mood. Karena moodnya jadi tak bisa dimengerti: kaku, bisa ditebak, garing, bikin capek.

Intinya di sini -- atas nama tulisan yang membingungkan ini -- adalah bagaimana kita menjadi diri sendiri tanpa diintervensi oleh "diri sendiri" dan orang lain, tanpa menyalahkan keadaan, tetapi justru memodifikasi situasi sebagai berkah yang olehnya sang semesta sesuai dengan perhitungannya yang rumit (saking rumitnya maka anggap saja "semerta-merta") menunjukkan dirinya pada kita sedikit demi sedikit, sambil tertawa.

Dan satu hal lagi, tertawa adalah bahasa yang bisa dipahami dengan cepat oleh si deadloine dan si mood. Jangan mengumpat, jangan mengeluh, bahkan kadang jangan berpikir. Tertawa sajalah.

Minggu, 12 Januari 2014

Ini

Angin membawa apa saja ke dalam kehidupan. Kamu ingini, kamu tolak: sama saja. Angin juga yang mengambil apa saja. Tak peduli kamu genggam, kamu peluk, atau disembunyikan di bawah bantal.

Hujan lalu membasahi apa saja, menghanyut apa saja, melenyapkan jejak, menciptakan alur. Dalam butiran air, ia melesapkan kisah ke dalam tanah. Menguapkan renjana. Menjadi awan-awan.

Lalu malam turun menyelimuti apa saja dalam gelap. Saatnya bertemu diri. Yang disisakan angin. Dalam awan-awan.

Dan mimpinya lagi-lagi tentang tunas. Mati-matian agar tak direbut angin.

Bersujud memohon doa pada matahari. Agar awan meneteskan embun. Bukan banjir bandang. Dalam waktu yang menyempit. Dan udara yang menghimpit.