Pagi-pagi hujan seperti ini. Suara butiran airnya
mengingatkan aku pada ombak dan angin. Tetesan air yang satu demi satu meluncur
dari ujung daun memantulkan kelabunya langit. Di balik kaca jendela, kamarku
terang dan hangat (meski kotor, pating
jemplah, dan apek). Di balik kaca jendela di dalam kaca jendela, aku
berwarna hijau laut.
Bunyi tetesan air. Teringat suatu perjalanan yang belum
selesai. Memutari gunung mengatasi tanjakan, melihat puncak-puncak bukit
berkabut dari sela pohon, dan bunga-bunga liar yang basah. Aku di sana atau
benakku di sana tidaklah beda. Karena “tidak beda” itu ilusi dan pengalaman itu
imajinatif. Dalam perjalanan itu aku menemukan pondok. Mirip saat aku dan Kamto
belasan tahun lalu menemukan warung kopi di tengah hujan dan dingin setelah
memanjat tebing Kali Kuning. Mirip Kapten Haddock menemukan pelabuhan ketika
botol-botolnya kosong. Lalu burung-burung pagi yang enggan terbang
memanfaatkannya dengan menciptakan quality
time, mendongeng tentang sahabat lama bernama hujan. Hadir saat gemalau
berwarna lembayung dan awan kelabu adalah air tempat kuas Tuhan dibersihkan
setelah mahakarya-Nya dipajang tiap pagi dan senja.
Meskipun kalimatku
terlalu panjang-panjang, aku tetap akan meneruskannya. Kali ini pake kalimat
lebih pendek!
Dalam hujan, aku yang masih SMP ngebut di atas sepeda
baruku, menyalip becak, berkelit di belakang pedagang-pedagang yang ke pasar,
menciptakan cipratan sampai ke lutut. (Masih
terlalu panjang.) Ke sekolah dengan tubuh berbau wangi sabun dan hati
was-was. Tetapi tak masalah selama masih ada Karl May. Aku bersarang. Lari dari
jendela kelas sebelah. Di rak apek perpustakaan, dan deretan Gibran terbitan lama
yang tak tersentuh di bawahnya. Ah, pohon-pohon cedar Libanon. Memberi tahu
bahwa cinta bukanlah perasaan, tetapi dunia lain. Tempat Old Shutterhand
mencium wangi rumput praire, sementara
tas punggung merah berlalu di seberang gerbang sekolah. Kini, ternyata semua itu
hanya dongeng yang lain, luntur di tengah hujan.
Lalu berbelas tahun tak henti membawaku ke hujan yang satu
dan hujan yang lain. Badai adalah coda.
Tempat menguji bahwa hijau pinus luntur juga. Mitos luntur. Keabadian merepet
di balik kaos dan sandal baru, yang sudah menyublim pindah ke hati.
Semua luntur. Jadi bening. Jadi bukan apa-apa. Aku ringan.
Tapi hilang.
Namun, dari lorong yang diciptakan ratusan hujan dan badai,
milyaran tetesan air melukis dunia. Bagaimana mungkin. Tak akan hanyut oleh
air, tak lepas oleh badai. Dunia itu hangat. Pelabuhan di ujung dunia. Pondok di
puncak bukit. Kabin berbatu di tengah praire.
Dalam hujan pagi ini, dalam pusaran kopi terakhir. Satu senti
di atas dasar mug. Aku menemukan diriku. Berpusar mencari dirimu. Melewati hujan
demi hujan yang mengupas kenyataan demi kenyataan yang memabukkan. Setelah sadar,
dan berlari hanya memutari gunung sampai ke jejak semula; dan petualangan meliriskan
prosa; hujan membersihkan ujung kuas terakhir. Mestinya tidak ada apa-apa di
canvas. Tetapi justru melukiskan dirimu di sana, berteduh dalam hujan. Di dalam
dunia yang tak kan luntur.
Lebih sulit menuliskan
sesuatu yang membingungkan.
gemalau apa sih?? Njuk iki opo to ???
BalasHapus