Pagi-pagi hujan seperti ini. Suara butiran airnya
mengingatkan aku pada ombak dan angin. Tetesan air yang satu demi satu meluncur
dari ujung daun memantulkan kelabunya langit. Di balik kaca jendela, kamarku
terang dan hangat (meski kotor, pating
jemplah, dan apek). Di balik kaca jendela di dalam kaca jendela, aku
berwarna hijau laut.
Bunyi tetesan air. Teringat suatu perjalanan yang belum
selesai. Memutari gunung mengatasi tanjakan, melihat puncak-puncak bukit
berkabut dari sela pohon, dan bunga-bunga liar yang basah. Aku di sana atau
benakku di sana tidaklah beda. Karena “tidak beda” itu ilusi dan pengalaman itu
imajinatif. Dalam perjalanan itu aku menemukan pondok. Mirip saat aku dan Kamto
belasan tahun lalu menemukan warung kopi di tengah hujan dan dingin setelah
memanjat tebing Kali Kuning. Mirip Kapten Haddock menemukan pelabuhan ketika
botol-botolnya kosong. Lalu burung-burung pagi yang enggan terbang
memanfaatkannya dengan menciptakan quality
time, mendongeng tentang sahabat lama bernama hujan. Hadir saat gemalau
berwarna lembayung dan awan kelabu adalah air tempat kuas Tuhan dibersihkan
setelah mahakarya-Nya dipajang tiap pagi dan senja.