Jumat, 20 Desember 2013

Hujan

Pagi-pagi hujan seperti ini. Suara butiran airnya mengingatkan aku pada ombak dan angin. Tetesan air yang satu demi satu meluncur dari ujung daun memantulkan kelabunya langit. Di balik kaca jendela, kamarku terang dan hangat (meski kotor, pating jemplah, dan apek). Di balik kaca jendela di dalam kaca jendela, aku berwarna hijau laut.

Bunyi tetesan air. Teringat suatu perjalanan yang belum selesai. Memutari gunung mengatasi tanjakan, melihat puncak-puncak bukit berkabut dari sela pohon, dan bunga-bunga liar yang basah. Aku di sana atau benakku di sana tidaklah beda. Karena “tidak beda” itu ilusi dan pengalaman itu imajinatif. Dalam perjalanan itu aku menemukan pondok. Mirip saat aku dan Kamto belasan tahun lalu menemukan warung kopi di tengah hujan dan dingin setelah memanjat tebing Kali Kuning. Mirip Kapten Haddock menemukan pelabuhan ketika botol-botolnya kosong. Lalu burung-burung pagi yang enggan terbang memanfaatkannya dengan menciptakan quality time, mendongeng tentang sahabat lama bernama hujan. Hadir saat gemalau berwarna lembayung dan awan kelabu adalah air tempat kuas Tuhan dibersihkan setelah mahakarya-Nya dipajang tiap pagi dan senja.