Jumat, 20 Desember 2013

Hujan

Pagi-pagi hujan seperti ini. Suara butiran airnya mengingatkan aku pada ombak dan angin. Tetesan air yang satu demi satu meluncur dari ujung daun memantulkan kelabunya langit. Di balik kaca jendela, kamarku terang dan hangat (meski kotor, pating jemplah, dan apek). Di balik kaca jendela di dalam kaca jendela, aku berwarna hijau laut.

Bunyi tetesan air. Teringat suatu perjalanan yang belum selesai. Memutari gunung mengatasi tanjakan, melihat puncak-puncak bukit berkabut dari sela pohon, dan bunga-bunga liar yang basah. Aku di sana atau benakku di sana tidaklah beda. Karena “tidak beda” itu ilusi dan pengalaman itu imajinatif. Dalam perjalanan itu aku menemukan pondok. Mirip saat aku dan Kamto belasan tahun lalu menemukan warung kopi di tengah hujan dan dingin setelah memanjat tebing Kali Kuning. Mirip Kapten Haddock menemukan pelabuhan ketika botol-botolnya kosong. Lalu burung-burung pagi yang enggan terbang memanfaatkannya dengan menciptakan quality time, mendongeng tentang sahabat lama bernama hujan. Hadir saat gemalau berwarna lembayung dan awan kelabu adalah air tempat kuas Tuhan dibersihkan setelah mahakarya-Nya dipajang tiap pagi dan senja.

Kamis, 31 Oktober 2013

Resah



Secepat semua partikel meluruh menjadi debu tak tampak, aku kehilangan keresahan yang menyebabkan berkas-berkas RGB berubah menjadi belati-rencong tak tampak. Sungguhpun ada, aku tidak di sana. Benar pun tusukan-tusukan itu menajamkan rasa, terbangun di tengah malam, terjaga di dni hari, dan oh lihatlah, radang itu berubah menjadi segupal keju yang terjatuh dari jendela becak. Berkeriut hatiku maju untuk tamparan selanjutnya. Tanpa mengelak, tanpa bisa memaksudkan diri untuk mengelak. 

Jangan berteriak. Tetangga aan bangun. Pasung akan melekat. Lalu hilang melenyap memunculkan mimpi tidur ayam. Bagaimana kamu bisa lari dari semua ini. Lalu melesap tanpa kata.

Tembok tidak tampak dibangun di mana-mana. Meresah. Mengajak embun mendesah. Aku ingin hujan. Melumerkan kala, melipat sabda, membawaku ke pangkuan Gusti Allah. Yang tak pernah bosan mengerjaiku. 

Siapa bilang aku harus ada.

Resah



Secepat semua partikel meluruh menjadi debu tak tampak, aku kehilangan keresahan yang menyebabkan berkas-berkas RGB berubah menjadi belati-rencong tak tampak. Sungguhpun ada, aku tidak di sana. Benar pun tusukan-tusukan itu menajamkan rasa, terbangun di tengah malam, terjaga di dni hari, dan oh lihatlah, radang itu berubah menjadi segupal keju yang terjatuh dari jendela becak. Berkeriut hatiku maju untuk tamparan selanjutnya. Tanpa mengelak, tanpa bisa memaksudkan diri untuk mengelak. 

Jangan berteriak. Tetangga aan bangun. Pasung akan melekat. Lalu hilang melenyap memunculkan mimpi tidur ayam. Bagaimana kamu bisa lari dari semua ini. Lalu melesap tanpa kata.

Tembok tidak tampak dibangun di mana-mana. Meresah. Mengajak embun mendesah. Aku ingin hujan. Melumerkan kala, melipat sabda, membawaku ke pangkuan Gusti Allah. Yang tak pernah bosan mengerjaiku. 

Siapa bilang aku harus ada.

Minggu, 15 September 2013

Ulangan



foto apa ni ya? (foto: noel)
Beberapa hari yang lalu aku ulang tahun. Aku sadar betul bahwa usiaku semakin bertambah dan masa pakai tubuhku di dunia fana ini kian berkurang. Jika dulu aku dapat push up 100 kali tiap pagi, atau berlari 3 kilo seminggu tiga kali, maka kini mungkim kini  tidak lagi se-ngoyo itu. Ibarat aset, barang kali diriku juga mengalami depresiasi nilai setiap tahunnya. Bagaimanapun juga, ekor telomerase kian pendek. Seperti kembang api yang makin habis, atau batere laptop yang pasti akan dol. Maka, mungkin suatu saat, ketika “nilai buku” diriku sudah begitu kecilnya (dan biasanya secara akuntansi sudah dianggap tidak ada), maka akan diadakan lelang. Atau lebih buruk lagi,akan digudangkan, menjadi teman karat dan digerayangi tikus. Finished

Jumat, 06 September 2013

Tidak Penting

Klenteng depan Pasar Kranggan Yogya (foto: noel)
Mestinya saat ini aku sedang mempersiapkan sesuatu yang genting dan cukup penting. Ah, penting itu relatif. Tapi aku tak berani mengatakan bahwa genting itu relatif. Maklum, hal itu akan memengaruhi mood orang-orang di ujung sana, pekerjaan di ujung satunya, dan berjibun tuntutan di ujung lainnya. Ujungnya memang banyak!

Lucunya, dari semua hal penting gemting yang saat ini harus dilakukan, yang paling tidak penting dan paling tidak genting adalah menulis blog. Lalu, mengapa memilih yang tidak penting? Itu karena aku tidak harus memilih yang penting. Siapa suruh. Lagi pula, kepalaku ini rasanya sudah jebol-jebol mawut berceceran ngos-ngosan untuk memikir satu hal penting yang sederhana sekalipun. Bagaimanapun juga, thank’s God, masih banyak hal tidak penting di dunia ini yang bisa dilakukan.

Minggu, 01 September 2013

Ngeblog

Bak truk di Jalan Wonosari, Feb 2013 (foto: Noel)
Ini sungguh bukan saat yang tepat untuk mem-posting tulisan di blog. Aku juga tak punya alasan bahwa "para pembaca fanatik sedang tergila-gila menanti tulisanku". Kenyataannya, pembaca paling fanatik dari tulisanku adalah diriku sendiri. Itu pun suka muntah-muntah baca tulisanku sendiri. Ini memang bukan saat yang tepat karena hanya berselisih ALT+TAB, maka pekerjaan dan mainan berlapis-lapis menunggu untuk digarap. Lalu mengapa aku malah nge-blog?

Apalagi konon sekarang ini sudah bukan zamannya blogging. Ini era fesbuk, twitter, line, BBM, waslap .... Apa tuh blogwalking? Anak-anak generasi millenium (yang dibaptis sebagai digital native) sudah tidak tahu. Seiring dengan lenyapnya dengungan fan CPU 486 dan disket selebar netbook berisi kurang dari 1/8000 kapasitas flesdis-ku.

Lalu mengapa blogging? Sambil berharap agar orang-orang yang gemas menunggu kerjaanku ga rampung-rampung terhindar untuk membaca postingan ini, aku akan berkata jujur, bahwa aku sedang mengalami perasaan campur baur ruwet pat gulipat neng nong neng gung; dan pikiran berputar-putar di labirin bertingkat seratus plus 9 dimensi. Tetapi kata simbah, itu wajar. Ah, jadi kangen simbahku.

Rabu, 17 Juli 2013

Wis Esuk

05.49 AM. Pagi semacam ini yang tidak begitu kusukai. Aku sudah bisa membuka mata sekitar 2-3 jam lalu, tetapi rasanya malas untuk bangun. Ingin terus bermimpi. Seperti nonton film nunggu klimaks yang tak kunjung datang. Seperti ada benang-benang halus kenikmatan yang memaksaku bersembunyi di bawah selimut, merayuku habis-habisan untuk tidak membuka mata, sembari tutup telinga rapat-rapat. Udara yang dingin menerobos ventilasi, bak zat magis ungu tua yang membuatku tersihir untuk memilih tidur terus. Suara kicau burung, bunyi gesekan sapu di halaman, gemerincing sepeda anak sekolah yang lewat di depan rumah, menjadi suara latar yang semakin meninabobokkan. Jangan bangun dulu, sayang. Dunia bisa menunggu.

Sayangnya, film harus usai, layar panggung harus diturunkan, dan tak ada lagi yang tersisa untuk dinikmati di alam mimpi. Ini adalah momen-momen di kala kita akan terasa pening jika memaksa diri tidur terus. Secara biologis, ini sudah waktunya bangun tidur. Bahkan tubuh biologisku sebenarnya mengizinkanku bangun sejak 2-3 jam lalu. Jadi, aku harus membuka mata, menguap lebar-lebar dan selama mungkin, menggeliat sambil menggeram panjang, lalu terdiam. Mataku menatap atap. Mataku berkabut dengan tahi mata dan segenap kotoran seperti biasanya. Aku jadi mirip beruang yang selesai hibernasi. Tetapi, ....

Rabu, 06 Februari 2013

Tulisan Tidak Penting Lainnya

Belum lama ini ia bertanya, "Hidup ini sebenarnya tujuannya apa to?" Nggak sampai 5 detik, dia meneruskan, "Aku ngomong sama diriku sendiri, lho." Aku tidak jadi berkomentar. Kalau tidak salah, aku kembali membenamkan kepalaku ke depan layar monitor. Tetapi tidak lama. Aku telanjur ingin berkomentar, meski aku tak tahu mau kasih komentar apa. Memang mulut ini gampang untuk memberi komentar, ya ... tanpa berpikir, tanpa memikirkan. Itulah sebabnya disebut mulut. Lebih pas lagi disebut "cangkem". Dan bukan brutu, apalagi paha.

Aku hanya teringat bahwa bagi sebagian orang hidup adalah pencapaian. Pencapaian itu bisa bermacam-macam: uang, kekuasaan, seks, kenyamanan ... Bisa juga pencapaian rohani, spiritual, kepenuhan emosi, dan sebangsanya. Mungkin bagi satu dua orang pencapaian itu adalah tubuh kekar berotot.

Minggu, 03 Februari 2013

Menulis

Beberapa hari lalu Mbak Kris menyarankan agar aku meneruskan ngeblog. Beberapa bulan lalu, aku berniat untuk meneruskan menulis blog. Sepertinya kembali menulis blog secara rutin adalah ide yang lumayan bagus. Tetapi sebagaimana ingatan melawan lupa, menjaga rutinitas menulis -- apalagi bagi orang yang kerap didera bosan seperti aku ini -- ibarat mendorong batu ke atas bukit, lalu menggelindingkannya ke bawah, lalu mendorong lagi, menggelindingkannya lagi. Seperti Sisypus.

Aku jadi teringat saat melempar bola tenis bekas ke lapangan, terus diambil oleh anjingku dengan bersemangat. Ekor mengibas-ngibas, lidah yang terjulu, napas mendengus keras, ... Padahal kalau dipikir-pikir, buat apa ia mengambilkan aku bola tenis kalau nantinya juga kulempar. Sisypus dalam wujud Canis lupus familiaris! Dengan superioritas spesiesku yang tidak superior ini, aku kerap melirik masam ke sang anjing, sambil memberi perintah tolol. "Ambil bola itu. Cepat. Cemet!". Menggertak hanya untuk sesuatu yang tidak berarti apa-apa. Toh kalau anjingku sebenarnya hanya ingin berolah raga, ia bisa minta diputarkan MP3 SKJ 88 (Senam Kesegaran Jasmani 1988).