Jumat, 02 Desember 2011

Kalian Bukan Gila, Hanya Kurang Beruntung


Mungkin aku ini orang gila. Tetapi, tidak perlu cemas. Karena kegilaan itu – bagaimanapun juga – masih merupakan hasil perhitungan statistik bahwasanya mereka yang berada di luar kurva normal adalah tidak waras alias gila. Kenthir!

Namun, aku menyadari bahwa segila-gilanya aku, itu hanyalah bagaimana Anda memandangnya: dari sisi mayoritas, atau dari sisi minoritas. Misalnya begini: anggap saja seluruh dunia ini, lebih dari 97,5% umat manusia, memiliki 1 hidung. Benar? Sekarang coba bayangkan apabila suatu hari ada sejenis gen tertentu yang menyebabkan seseorang berikut keturunannya memiliki 2 buah hidung. Bagaimana tanggapan masyarakat? Pertama yang bereaksi adalah media. Maklum, aktualitas adalah apa yang ingin dilihat/dibaca orang (dan coba tebak, apa yang diinginkan orang gila?). Lalu keluarga orang-orang yang berhidung ganda ini serta merta dimasukkan dalam kategori “aneh”, “langka”, dan sedetik kemudian menjadi “abnormal”, lalu – karena orang-orang secara naluriah merasa tidak nyaman berada di antara sesamanya yang “berbeda” – dimulailah usaha untuk menormalkan keluarga si hidung ganda.

Sabtu, 30 Juli 2011

Marzuki Ali Sakit?


Ada apa dengan Marzuki Ali? Apakah ia sakit? Ucapannya kemarin yang mengusulkan pembubaran KPK lantaran salah satu pimpinannya bertemu Nazaruddin membuat saya sedikit kaget. Lebih melongo lagi ketika muncul pernyataan lanjutan untuk “mengampuni” para koruptor yang lari ke luar negeri. Piiran saya jadi berkecamuk. Jika hal ini terjadi di suatu negeri benua seberang sana – yang nama-nama pemimpinnya sulit dilafalkan – maka saya akan meneruskan menikmati makan malam dengan riang seperti biasa.
Saya jadi teringat perbincangan beberapa hari lalu dengan seorang pendidik di bidang hukum. Politik adalah ilmu untuk memutuskan sesuatu dengan bijaksana. Bukan “membuat kebijakan” itu sendiri. Dan sama sekali – mestinya – bukan ilmu untuk memperoleh dan atau melanggengkan kekuasaan. Tetapi, demi seluruh pahlawan yang tewas di zaman kemerdekaan, kok banyak ucapan politisi negeri ini berbau kentut ya: dan kita adalah lubang kakus yang – diharapkan – menerima begitu saja hasil metabolisme orang yang rakus.
Ah, aku jadi berpikir terlalu banyak.
Apalagi si Marzuki ini adalah wakil ketua dewan pembina Partai Demokrat, partai yang kini berkuasa di Indonesia Raya. Siapa ketuanya? Tak lain tak bukan adalah si presiden kita yang masih gembar pupuran nganggo tlethong.

You-know-who

Baru saja ke Perpustakaan Kota Yogya. Numpang duduk-kerja-ketemu orang. Memang tidak saling kenal, saling sapa pun tidak. Tapi setidaknya jadi tidak lupa bahwa orang itu punya rasa ingin tahu, punya rasa ge-er jika diperhatikan (atau risih malah), dan senang merasa nyaman. Dus, di bawah kanopi beton yang pura-puranya artistik (tetapi tidak nyaman buat baca buku), kami bersama-sama mencoba menaga kenyamanan orang lain yang begitu sulit didapat akhir-akhir ini.

Jadi ingat you-know-who. Beliaunya di sela-sela tuduhan politik gincu branding image (lihat rujukan menggelitik di Kompas.com ini), ternyata barangkali ada faedahnya juga, yaitu untuk sementara membuat orang menjadi nyaman. Aku jadi teringat gaya bahasa standar karyawan hotel atau petugas call center. Yang penting tone-nya bagus dan enak di telinga. Nyaman buat kerja.

Jagongan Wagen Juli 2011


Sedikit jauh di luar kota. Lampu tempel minyak tanah yang disetel terlalu besar. Bayang-bayang bergulana di terpal oranye … hap … cakar bacem. Krauk … krupuk beras. Ji mo ji mo lu mo nem ji ji … pelajaran nembang serak menyelusup dari radio transistor. Sekali lagi angin menyemilir dari sawah di belakang. Lelampuan berlarian dari Yamaha dan Suzuki dan Honda di jalan beraspal di seberang sawah. “Tegal Jenggotan,” katanya.
Pulang dari nonton pentas yang ternyata di luar dugaan tidak sebagus yang kubayangkan sebelumnya, barangkali satu dua gigitan sate usus bisa mengobati dahaga filosofis malam tadi. Pun di angkringan pedalaman tengah kampung yang belum pernah ku – kami – kunjungi. Tapi ini masih malam.
Satu hal yang kupikirkan, mengapa sebuah pementasan bisa tertampil seperti itu. Ah, tapi bukan pada posisi dan kredibilitasku untuk menilai – apalagi menghakimi – sesuatu. Apa sih yang bisa didapat dari ranah gratisan. Sudah lumayan dapat setup jambu dan jahe panas kenthel. Namun barangkali ketika istilah “biasa” menjelma menjadi “keharusan”, barangkali ada ratusan penonton yang kecewa. Bung, tidak biasanya Jagongan Wagen di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja menampilkan performance yang – maaf – terasa garing. Memang, mungkin mataku menipu.

Jumat, 29 Juli 2011

Aku Bebas ... dam du bi dam


“Persetan! “
Akhirnya – sepertinya – aku menemukan kata yang pas untuk mengomentari dunia menulis-di-web ini. Pasalnya, ternyata membuat banyak blog bukan berarti tanganku makin mahir menulis. Pun, memikirkan macam-macam hal yang membangkitan rasa ingin tahu (dan rasa ingin menggebuk) tidak lantas berimbas pada tulisan yang bernas, nyaman dikunyah, dan bergizi lahir batin. Toh, yang muncul di kemudian hari (di dalam benakku) justru pembatasan-pembatasan. Kok bisa? Bagaimana datang? (maksudnya how come?)
Jadi, mungkin aku masih kecewa karena aku tidak bisa merunut di mana saja tulisan-tulisanku kini. Mungkin aku juga masih tidak bisa menerima ketika sekumpulan tulisanku dikritisi sedemikian rupa sehingga aku harus memilih tema dan menentukan gaya tertentu agar masuk kualifikasi tertentu. Pertanyaan besarnya adalah, aku sama sekali tidak pernah mendaftar ssuatu agar masuk kualifikasi tertentu. Jujur saja, biasanya orang-orang seperti ini mempunyai masalah dalam dirinya yang belum selesai. Unfinished business. Jadi, tindakan pertama adalah tidak peduli. Kedua adalah cuek. Ketiga adalah forget it!
Apakah itu benar?