05.49 AM. Pagi semacam ini yang tidak begitu kusukai. Aku sudah
bisa membuka mata sekitar 2-3 jam lalu, tetapi rasanya malas untuk bangun. Ingin
terus bermimpi. Seperti nonton film nunggu klimaks yang tak kunjung datang. Seperti
ada benang-benang halus kenikmatan yang memaksaku bersembunyi di bawah selimut,
merayuku habis-habisan untuk tidak membuka mata, sembari tutup telinga
rapat-rapat. Udara yang dingin menerobos ventilasi, bak zat magis ungu tua yang
membuatku tersihir untuk memilih tidur terus. Suara kicau burung, bunyi gesekan
sapu di halaman, gemerincing sepeda anak sekolah yang lewat di depan rumah,
menjadi suara latar yang semakin meninabobokkan. Jangan bangun dulu, sayang. Dunia
bisa menunggu.
Sayangnya, film harus usai, layar panggung harus diturunkan,
dan tak ada lagi yang tersisa untuk dinikmati di alam mimpi. Ini adalah momen-momen
di kala kita akan terasa pening jika memaksa diri tidur terus. Secara biologis,
ini sudah waktunya bangun tidur. Bahkan tubuh biologisku sebenarnya
mengizinkanku bangun sejak 2-3 jam lalu. Jadi, aku harus membuka mata, menguap
lebar-lebar dan selama mungkin, menggeliat sambil menggeram panjang, lalu
terdiam. Mataku menatap atap. Mataku berkabut dengan tahi mata dan segenap
kotoran seperti biasanya. Aku jadi mirip beruang yang selesai hibernasi.
Tetapi, ....