Minggu, 03 Februari 2013

Menulis

Beberapa hari lalu Mbak Kris menyarankan agar aku meneruskan ngeblog. Beberapa bulan lalu, aku berniat untuk meneruskan menulis blog. Sepertinya kembali menulis blog secara rutin adalah ide yang lumayan bagus. Tetapi sebagaimana ingatan melawan lupa, menjaga rutinitas menulis -- apalagi bagi orang yang kerap didera bosan seperti aku ini -- ibarat mendorong batu ke atas bukit, lalu menggelindingkannya ke bawah, lalu mendorong lagi, menggelindingkannya lagi. Seperti Sisypus.

Aku jadi teringat saat melempar bola tenis bekas ke lapangan, terus diambil oleh anjingku dengan bersemangat. Ekor mengibas-ngibas, lidah yang terjulu, napas mendengus keras, ... Padahal kalau dipikir-pikir, buat apa ia mengambilkan aku bola tenis kalau nantinya juga kulempar. Sisypus dalam wujud Canis lupus familiaris! Dengan superioritas spesiesku yang tidak superior ini, aku kerap melirik masam ke sang anjing, sambil memberi perintah tolol. "Ambil bola itu. Cepat. Cemet!". Menggertak hanya untuk sesuatu yang tidak berarti apa-apa. Toh kalau anjingku sebenarnya hanya ingin berolah raga, ia bisa minta diputarkan MP3 SKJ 88 (Senam Kesegaran Jasmani 1988).



Tetapi anjing-anjingku (dari Tesa, Kenthus, Moi, Cempluk, Poleng, sampai Boni) tak pernah mengeluh. Siapa tahu bahwa di kalangan anjing terdidik mengambilkan bola buat majikannya ibarat ritus suci yang menyatukan jiwa-jiwa tersesat pada pribadi maha sempurna, yang berakal, cerdas, dan memberi makan tiap hari. Aku adalah tuhan, dan mereka adalah begundal-begundalku. Iseng-iseng aku jadi berkhayal, apakah Tuhan kerap "melempar bola kasti" kepada kita untuk diambil? Mugkin ya, mungkin tidak. Tapi jika demikian, lantas "manunggaling kawula lan gusti" bagi anjing akan terpenuhi secara fisik dalam wujud tongseng jamu. Ah, tak usah dipikir. Aku belum mau dirajam dianggap bidaah. Apalagi membayangkan diriku sebagai "tongseng jamu"-nya Tuhan bukanlah gagasan menarik. Nggak profitable.

Aku sedang membaca bukunya Gloria Graffa. Aku malah lupa judulnya. Seingatku, buku itu terjemahan dari "Life Wide Open" (Dr. David Jeremiah). Ya. Buku rohani. Tetapi ada gagasan menarik bahwa apapun yang kita perbuat, sebaiknya dilakukan dengan penuh semangat, penuh gairah (bukan dengan penuh nafsu). Dalam hal ini aku harus banyak belajar dari Boni dan teman-temannya. Mendengar suara motorku pun mereka tampak gembira. "Guk ... guk!"

Kembali ke soal menulis blog. Sebenarnya aku sedang bertanya-tanya, apakah ini hanyalah persoalan gairah? Ketika kupikir-pikir, dengan hadirnya FB dan twitter, dengan kenyataan bahwa menulis notes FB akan lebih banyak dikomentari daripada menulis blog; dan apakah "dikomentari" menjadi hal yang amat penting, maka kurasa aku lebih suka tidak berpikir. Gairah itu tidak perlu dipikir.

Biarlah tetap bodoh, tetap konyol, tetap tampak tak ada gunanya ... tetapi bersemangat. "Stay hungry, stay foolish", kata mendiang Job. Minimal, dengan menulis di sini aku bisa menjaga kewarasan. Apapun itu. Yeach.

Begitu, Mbak.

Foto: ini ngambil dari FB, kayaknya diupload oleh Mas Yuko buat "Pitulikuran Katresnan"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar