Kamis, 28 Juni 2012

Tulisan Tidak Penting Lainnya


Menulis itu bikin malas. Menulis membuatku menunda mandi, menunda makan, dan menunda tidur lagi. Tetapi mungkin menulis jadi salah satu alasan agar aku tetap berpikir dan tidak tidur-tiduran seperti sayuran sepanjang hari. Lagipula, mungkin karena menulis sesuatu yang tidak penting justru mengemban misi mulia nan penting untuk menjaga diriku tetap waras. Terlepas apakah aku waras atau tidak, setidaknya saya menduga kita sama-sama setuju bahwa kewarasan itu perlu.

Ngelantur soal kewarasan, jadi ingat bukankah kewarasan itu hanya persoalan kurva normal? Dan siapakah maha dewa agung yang menciptakan kurva normal sehingga memisahkan manusia dari waras dengan tak waras? Saya tidak tahu. Pula, saya tak mau menambahi pekerjaan dengan mencari hal yang tak perlu. Toh, Anda pasti tidak mau memberi fee untuk itu.

Jelasnya, kurva normal itu tak perlu dipahami secara akademis dan ndakik-ndakik scientific thinking  oleh mendiang simbah saya untuk menentukan apakah unggas yang ada ditangannya seekor ayam atau bebek. Cukup melihat sekilas, beliau tahu betul bahwa ayam jauh berbeda dengan bebek. Tanpa perlu tes DNA.
Hal ini mungkin muncul lantaran memang ada semacam garis tegas nyata yang membedakan ayam dengan bebek. Namun di dunia nyata, tidak semua hal memiliki batas tegas. Kebanyakan justru abu-abu, gradasi, bersemburat, ... barangkali di titik iniliah seorang pakar statistik menyorongkan idenya tentang kurva normal.
Kemudian, dari semua silang sengkarut yang sulit diformulasikan batas “gelap-terang”-nya, terdapat gagasan mengenai “cinta”. Ini adalah salah satu kata yang sulit untuk kuketikkan. Tadi saja sempat dua kali salah ketik. Saya yakin, peradaban umat manusia yang sudah “sundul langit” ini pasti bisa mendefinisikan kata tersebut dengan semakin tepat. Tetapi, - entah karena tren atau bukan – biasanya definisi dari cinta akan sangat tergantung dengan kondisi, tempat, dan latar belakang subjek yang ditanyai. 

Coba bertanyalah pada ABG yang lagi kesengsem sama gurunya, atau pada penjaja seks di tenda remang, atau pada mahasiswi tingkat satu yang masih euforia pada kebebasan kampus, atau pada lasykar FPI ... mungkin jawabnya beda. Bahkan bertolak belakang. Celakanya, jika untuk suatu hal saja tidak ada kesepakatan pemahaman, maka bagaimana hal tersebut akan bergulir dengan baik seperti yang kita idam-idamkan? Lha wong yang Anda idam-idamkan berbeda dengan yang saya idam-idamkan!

Mungkin itu sebabnya dunia cinta dan turunan-turunannya merupakan topik yang tak habis dikupas oleh media massa, hiburan, sampai bisik-bisik di warung sayur tetangga. Topik ini berhembus dari yang seakan merupakan cerita basi, sampai kisah yang menuai horor serta misteri. Di mata keluarga-keluarga muda, mungkin topik ini kerap dianggap sebagai sesuatu yang “sudah mereka kuasai”, dan dengan sigap mereka suka membagikan pengalaman-pengalamannya pada junior-juniornya. Bagi keluarga yang sedikit lebih tua, topik ini mungkin dijauhi. Dianggap basi. Kurang pragmatis, tidak praktis. Tapi diam-diam mereka berselingkuh seiring menjamurnya puber kedua ... lalu puber ketiga ... dan seterusnya.

Dan di sini, saya, dengan tulisan kalang kabut saya, merasa yakin bahwa semua kenisbian di atas memang harusnya seperti itu. Bak fungsi tokoh Oracle dalam The Matrix sebagai lawan The Architect. Harus ada sesuatu yang intuitif, tak terkendalikan, dan hanya dapat dirasakan, serta dipahami dengan hati, bukan kepala. Dengan demikian, dunia memang jauh lebih asyik.

Lalu apa yang sebenarnya ingin kuomongkan? Jika Anda penganut aliran bahwa segala tulisan harus ada ide utama, paragraf deduktif-induktif, piramida terbalik atau bukan, dan ewer ewer ewer lainnya, saya tidak menyalahkan Anda. Hanya kasihan, bahwasanya Anda kecele membaca tulisan yang sejak awal tidak terbangun dengan plot tertentu.

Begitu juga dengan ... aduh ... itu tadi. Kata itu tadi lo.

PS: Jangan mencoba mengajari sayuran untuk berpikir. Ah, sebenarnya saya juga ndak paham, mengajari berpikir itu bagaimana caranya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar