Rabu, 20 Juni 2012

Sepi itu Korban, Rame itu juga Korban

Sekali lagi menambahi tulisan tidak penting. Aku ingat suatu hari berjuta tahun yang lalu ada seorang teman bertanya, "Apakah kesepian bisa membunuhku?" Ketahuan, batinku. Maksudku, ketahuan nyontek lagunya SLANK zaman itu: "Terbunuh Sepi". Bagaimanapun juga aku lupa apa jawabku. Mungkin nggak strategis dan profitable untuk diingat. Kurang lebih, aku tak pernah merasa bahwa kesepian mampu membunuh. Justru kita yang tak pernah bosan membunuhi sepi. Sehari bisa sampai belasan kali. Namun ibarat mati satu tumbuh seribu.

Entah mengapa telinga bawah sadarku menangkap bunyi senapan mesin dari film "Janur Kuning" dan "Operasi Trisula". Nyawa menjadi relatif harganya. Sementara presiden Suriah membunuhi rakyatnya sendiri dengan kecepatan yang mengagumkan serta ignorance yang tak kalah mengagumkan dari forum internasional, belasan prajurit gugur gara-gara menyelamatkan si kroco Ryan (lihat "Saving Private Ryan"?). Dari itu semua, ditambah puluhan ayam kampug yang tiap pagi dibantai di Pasar Terban tanpa sedikit pun penyesalan, apalagi keterlibatan ICRC, The Hague, atau DK PBB (sementara Aung Suu Kyi dipuja-puja di Eropa). Mengabaikan fiksi-nonfiksi, realita-surealis, optimis-sarkastik, bisa disimpulkan bahwa kematian itu memang relatif.


Bukankah aku pernah bilang bahwa aku tak menyangka bisa berusia lebh dari 30 tahun?

Dan dalam 30 tahun hidupku, aku sudah ribuan kali membunuh sepi. Untung saja si sepi ya adalah si sepi seperti biasanya .. sungkan berdemonstrasi, enggan cuap-cuap, ga pernah bikin cause di FB, ga suka merangkul FPI, menjauhi Paratai Demokrat, menjauhi Nasdem, bahkan mejauhi semua partai ... partai besar ataupun kecil, partai terlarang, maupun partai termurah. (larang=mahal).

Lalu apakah keramaian bisa dianggap kebalikan kesepian? Tidak. Ini hipotesis. Setidaknya entah bagaimana aku yakin bahwa keramaian itu hanya kesepian-kesepian yang bertumpuk-tumpuk sehingga hanya bisa menimbulkan bising. Apa jadinya jika sepi dan ramai sama-sama tiada? Jawaban romantisnya ya hanya ada suaramu .. halah. Wekekekekek.

Jadi mungkin membunuh sepi adalah kegiatan antikehidupan paling humanis namun reflektif. Aku tidak bangga membunuhinya. Dan jangan pernah bertanya, "Apakah aku akan mati rerbunuh sepi?". Karena bagaimana seorang pembunuh takut terbunuh oleh bunuhannya? Halah. Omonganku trubas trubus.

Namanya juga masih sakit. Masih agak "owah".


NB:
Tanya: Partai apa yang paling berharga bagi Indonesia?
Jawab: Partai Terlarang
Tanya: Kok bisa?
Jawab: Larang = Mahal. Jadi andai saja PKI dan PRD bisa dijual, siapa tahu setiap pengangguran intelek di Indonesia dapat gaji standar anggota DPR.
Tanya: Bukannya mereka memang pengangguran intelek ya?
Jawab: Huss ... tema kali ini masih ttg kesepian. Belum politik, bung. Beluuuuuum.


Foto: Sebuah persimpangan dekat rumah. Ini foto pernah dimuat di blog-ku yang sudah mok ek.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar