Rabu, 17 Juli 2013

Wis Esuk

05.49 AM. Pagi semacam ini yang tidak begitu kusukai. Aku sudah bisa membuka mata sekitar 2-3 jam lalu, tetapi rasanya malas untuk bangun. Ingin terus bermimpi. Seperti nonton film nunggu klimaks yang tak kunjung datang. Seperti ada benang-benang halus kenikmatan yang memaksaku bersembunyi di bawah selimut, merayuku habis-habisan untuk tidak membuka mata, sembari tutup telinga rapat-rapat. Udara yang dingin menerobos ventilasi, bak zat magis ungu tua yang membuatku tersihir untuk memilih tidur terus. Suara kicau burung, bunyi gesekan sapu di halaman, gemerincing sepeda anak sekolah yang lewat di depan rumah, menjadi suara latar yang semakin meninabobokkan. Jangan bangun dulu, sayang. Dunia bisa menunggu.

Sayangnya, film harus usai, layar panggung harus diturunkan, dan tak ada lagi yang tersisa untuk dinikmati di alam mimpi. Ini adalah momen-momen di kala kita akan terasa pening jika memaksa diri tidur terus. Secara biologis, ini sudah waktunya bangun tidur. Bahkan tubuh biologisku sebenarnya mengizinkanku bangun sejak 2-3 jam lalu. Jadi, aku harus membuka mata, menguap lebar-lebar dan selama mungkin, menggeliat sambil menggeram panjang, lalu terdiam. Mataku menatap atap. Mataku berkabut dengan tahi mata dan segenap kotoran seperti biasanya. Aku jadi mirip beruang yang selesai hibernasi. Tetapi, ....


Ah, sial. Mengapa aku berpikir? Tanpa kusuruh pikiran dan bayangan mentalku melayang ke banyak pekerjaan yang belum usai. Tahu bukan, pekerjaan yang belum usai (padahal sudah waktunya harus selesai) ibarat serangga kecil-kecil yang mengerumuni otakmu dan sesekali menyengat jantungmu. Mungkin kalau digambarkan serangga itu bermata merah besar, ekor lancip yang mengerikan, serta gigi-giginya yang panjang. Tambahan lagi, mereka suka menyerukan kata-kata yang sama agar aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Kadang menyuruh, kadang memaksa, dan seringnya mengomel. Berdengung-dengung menerobos gendang telingamu. Membuatmu tersiksa.

Lalu biasanya – seperti milyaran orang lain di atas kulit bumi – orang akan mulai memaksa diri menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Jadwal demi jadwal, kencan demi kencan, dari ketegangan deadline yang satu ke ketegangan deadline yang lain. Tetapi itu adalah orang lain. Sartre bilang “neraka adalah orang lain”. Dan aku lebih suka bermain di surga.

Karena bagaimana jika hari ini adalah mimpi, dan apa yang kuimpikan semalaman adalah yang sebenarnya terjadi? Sayangnya, seperti halnya kita bersusah payah mengingat-ingat kenyataan sebenarnya saat bermimpi, kita juga kesulitan mengingat detail serta “logika” mimpi saat kita sadar. Jadi, siapa bilang kalau ini bukan mimpi. Jadi, bisa jadi bahwa segala kesibukan dan turunannya itu semua hanya mimpi. Kenyataannya, mungkin saat ini aku sedang tidur-tiduran di bawah hangat sinar matahari di padang rumput harum. Pondok kecil di sana menebarkan aroma lezat masakan buat makan siang nanti. Ah.

Mungkin seperti Piscine Molitor Patel alias Pi-nya Yann Martel yang – menurut filmnya – lebih memilih kenyataan yang menyenangkan dan harmonis. Cuma sayangnya otakku hanya bisa menipu otakku saja, belum otak orang lain, belum otak binatang dan tanaman, apalagi alam semesta. Ngelantur!

Namun, apapun kesimpulannya, kenyataan itu – terlepas dari benar terjadi atau fiksi – adalah apa yang saat ini harus dilalui. Untungnya, kita bisa memilih untuk melaluinya dengan cara semenyenangkan mungkin. Mungkin itu sebabnya tokoh Chronicle of Narnia semuanya anak-anak, bukan Bruce Willis, bukan Sylvester Stallone. Karena Peter, Susan, Edmund, dan Lucy Pevensie lebih suka melihatnya dari kacamata anak-anak; toh mereka masih anak-anak. Jauh dari magnum-nya Bruce Willis dan M-16 nya Stallone.


Karena itu – di atas semuanya – apapun yang terjadi, sekali lagi, mari kita melakukannya dengan cara yang semenyenangkan mungkin. Semoga gampang. Good luck.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar