Pagi hari itu selalu menakjubkan. Sehitam apapun nasibmu,
seburuk apapun sarapanmu, fajar yang merekah dengan konsisten memberi nuansa
yang hangat dan menyenangkan. Bahkan ketika udara terasa pengap dan langit
berwarna kelabu, pagi masih menyisakan kesegaran dan kemilau. Walaupun hanya
bisa dibayangkan, karena berada di balik gemawan.
Keindahan dan pesona pagi bisa kamu lihat lewat matamu.
Sejuknya udara bisa kamu rasakan lewat kulit dan bulu-bulu halus hidungmu.
Namun, segenap keindahan yang bisa tercerap oleh pancaindera itu adalah satu
hal. Dan hal yang lain – yang cukup berbeda dengan itu – adalah konsep mengenai
pagi itu sendiri. Cobalah membayangkan pagi hari. Apa yang terlintas di
benakmu? Suara burung, sinar matahari, langit biru lembut, sinar kuning-oranye
di ufuk timur? Atau bisa dipanjang-panjangkan menjadi suara deburan ombak,
senyuman, nasi goreng, kekasih, ... dan seterusnya dan seterusnya. Asosiasi
memang kerap menjadi pintu akan banyak hal. Menyembunyikan
yang ditahan-tahan, katanya. Pagi kerap bermain sebagai pemantik.
Konsep mengenai pagi yang menyegarkan ternyata banyak
membantuku memahamimu. Pertama-tama, seperti yang aku gambleh-kan di atas, aku perlu dengan sadar memisahkan – atau lebih
tepatnya “menginsyafi” – dirimu yang aktual: yang bisa aku lihat, aku rasakan
permukaan kasar kulitmu, aku dengar siulanmu; dan dirimu secara konseptual:
yang tercetak rapi di dalam kepalaku (dan kerap juga di dalam hatiku), tak
peduli dengan apa yang pancainderaku rasakan terhadap dirimu.
Kedua hal ini, yang aktual dan yang konseptual, bukanlah dua
hal yang berlawanan. Keduanya saling melengkapi, ibarat dua sisi dari mata uang
yang sama. Ada saat ketika yang aktual dan yang konseptual melebur menjadi
dirimu yang utuh menurut pandanganku. Namun ada pula saat ketika yang
konseptual berkebalikan dengan apa yang kurasakan. Namun, itu bukan berarti
bahwa dirimu telah mengalami dualisme. Dirimu tetap adalah dirimu. Kamu tidak
pernah merasakan bahwa ada konsep mengenai dirimu yang secara “semerta-merta
dan sewenang-wenang” aku rasakan terhadap dirimu. Dan barangkali akan juga
dirasakan secara berbeda-beda oleh 7 milyar manusia di muka bumi. Setiap orang
memiliki caranya sendiri-sendiri untuk memahami konsep mengenai dirimu.
Dan di situlah aku jatuh cinta padamu. Aku tidak percaya
pada apa yang kurasakan lewat pancaindera. Memang, sensasi yang kurasakan itu
akan menetap setidaknya selama beberapa waktu. Dulu aku merasa bahwa apa yang kasat mata itu akan lebih lama
bertahan daripada yang tidak kasat mata. Tetapi ternyata apa yang terlihat itu
justru adalah apa yang rapuh. Mudah berkarat, rusak, berbeda hari demi hari,
dan kerap tidak konsisten. Toh dunia ini terdiri dari amat banyak molekul-molekul,
yang disusun atas unsur-unsur, yang dibangun atas atom-atom. Atom-atom itu
senantiasa bergerak, bergetar, menimpakan dan menyerap medan energi. Tidak stabil.
Mudah lenyap. Itulah sebabnya tidak bisa dipercaya. Apa yang tampak ternyata
tidak abadi. Dan apa yang tidak abadi ternyata terserak di mana-mana, menjadi
tanda yang mudah membuat kita terkecoh.
Sebaliknya, apa yang kuingat secara konsep adalah abadi. Mampu
merentang sepanjang hayat, bahkan mungkin sampai alam baka. Penampakanmu dalam
sekejap yang tercerap pancaindera (walaupun nantinya tidak menetap) akan
menjadi abadi begitu menjadi konsep. Itulah keabadian. Lantas aku bahagia
karena engkau menciptakan keabadian setiap kali angin berdesir melewatimu, dan
burung gereja hinggap di rerantingmu.
Tak salah lagi, kamu adalah pohon. Beringin meraksasa di
halaman tengah gedung renta meski tampak kokoh.
Konsep mengenai pohon membuatku sejuk di pagi hari ini. Tidak
semua yang telah direncanakan harus berhasil dengan baik. Tidak semua yang
diimpikan akan mewujud sama persis seperti pasfoto. Namun, demi melihatmu di
sana, aku merasa cukup dicintai. Oleh sesuatu yang berubah menjadi konsep. Oleh
sesuatu nan abadi yang meruang di sana.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar