Kamis, 05 Maret 2015

Pagi Pohon

Pagi hari itu selalu menakjubkan. Sehitam apapun nasibmu, seburuk apapun sarapanmu, fajar yang merekah dengan konsisten memberi nuansa yang hangat dan menyenangkan. Bahkan ketika udara terasa pengap dan langit berwarna kelabu, pagi masih menyisakan kesegaran dan kemilau. Walaupun hanya bisa dibayangkan, karena berada di balik gemawan.

Keindahan dan pesona pagi bisa kamu lihat lewat matamu. Sejuknya udara bisa kamu rasakan lewat kulit dan bulu-bulu halus hidungmu. Namun, segenap keindahan yang bisa tercerap oleh pancaindera itu adalah satu hal. Dan hal yang lain – yang cukup berbeda dengan itu – adalah konsep mengenai pagi itu sendiri. Cobalah membayangkan pagi hari. Apa yang terlintas di benakmu? Suara burung, sinar matahari, langit biru lembut, sinar kuning-oranye di ufuk timur? Atau bisa dipanjang-panjangkan menjadi suara deburan ombak, senyuman, nasi goreng, kekasih, ... dan seterusnya dan seterusnya. Asosiasi memang kerap menjadi pintu akan banyak hal. Menyembunyikan yang ditahan-tahan, katanya. Pagi kerap bermain sebagai pemantik.


Konsep mengenai pagi yang menyegarkan ternyata banyak membantuku memahamimu. Pertama-tama, seperti yang aku gambleh-kan di atas, aku perlu dengan sadar memisahkan – atau lebih tepatnya “menginsyafi” – dirimu yang aktual: yang bisa aku lihat, aku rasakan permukaan kasar kulitmu, aku dengar siulanmu; dan dirimu secara konseptual: yang tercetak rapi di dalam kepalaku (dan kerap juga di dalam hatiku), tak peduli dengan apa yang pancainderaku rasakan terhadap dirimu.

Kedua hal ini, yang aktual dan yang konseptual, bukanlah dua hal yang berlawanan. Keduanya saling melengkapi, ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Ada saat ketika yang aktual dan yang konseptual melebur menjadi dirimu yang utuh menurut pandanganku. Namun ada pula saat ketika yang konseptual berkebalikan dengan apa yang kurasakan. Namun, itu bukan berarti bahwa dirimu telah mengalami dualisme. Dirimu tetap adalah dirimu. Kamu tidak pernah merasakan bahwa ada konsep mengenai dirimu yang secara “semerta-merta dan sewenang-wenang” aku rasakan terhadap dirimu. Dan barangkali akan juga dirasakan secara berbeda-beda oleh 7 milyar manusia di muka bumi. Setiap orang memiliki caranya sendiri-sendiri untuk memahami konsep mengenai dirimu.

Dan di situlah aku jatuh cinta padamu. Aku tidak percaya pada apa yang kurasakan lewat pancaindera. Memang, sensasi yang kurasakan itu akan menetap setidaknya selama beberapa waktu. Dulu aku merasa bahwa  apa yang kasat mata itu akan lebih lama bertahan daripada yang tidak kasat mata. Tetapi ternyata apa yang terlihat itu justru adalah apa yang rapuh. Mudah berkarat, rusak, berbeda hari demi hari, dan kerap tidak konsisten. Toh dunia ini terdiri dari amat banyak molekul-molekul, yang disusun atas unsur-unsur, yang dibangun atas atom-atom. Atom-atom itu senantiasa bergerak, bergetar, menimpakan dan menyerap medan energi. Tidak stabil. Mudah lenyap. Itulah sebabnya tidak bisa dipercaya. Apa yang tampak ternyata tidak abadi. Dan apa yang tidak abadi ternyata terserak di mana-mana, menjadi tanda yang mudah membuat kita terkecoh.

Sebaliknya, apa yang kuingat secara konsep adalah abadi. Mampu merentang sepanjang hayat, bahkan mungkin sampai alam baka. Penampakanmu dalam sekejap yang tercerap pancaindera (walaupun nantinya tidak menetap) akan menjadi abadi begitu menjadi konsep. Itulah keabadian. Lantas aku bahagia karena engkau menciptakan keabadian setiap kali angin berdesir melewatimu, dan burung gereja hinggap di rerantingmu.

Tak salah lagi, kamu adalah pohon. Beringin meraksasa di halaman tengah gedung renta meski tampak kokoh.


Konsep mengenai pohon membuatku sejuk di pagi hari ini. Tidak semua yang telah direncanakan harus berhasil dengan baik. Tidak semua yang diimpikan akan mewujud sama persis seperti pasfoto. Namun, demi melihatmu di sana, aku merasa cukup dicintai. Oleh sesuatu yang berubah menjadi konsep. Oleh sesuatu nan abadi yang meruang di sana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar