Minggu, 01 September 2013

Ngeblog

Bak truk di Jalan Wonosari, Feb 2013 (foto: Noel)
Ini sungguh bukan saat yang tepat untuk mem-posting tulisan di blog. Aku juga tak punya alasan bahwa "para pembaca fanatik sedang tergila-gila menanti tulisanku". Kenyataannya, pembaca paling fanatik dari tulisanku adalah diriku sendiri. Itu pun suka muntah-muntah baca tulisanku sendiri. Ini memang bukan saat yang tepat karena hanya berselisih ALT+TAB, maka pekerjaan dan mainan berlapis-lapis menunggu untuk digarap. Lalu mengapa aku malah nge-blog?

Apalagi konon sekarang ini sudah bukan zamannya blogging. Ini era fesbuk, twitter, line, BBM, waslap .... Apa tuh blogwalking? Anak-anak generasi millenium (yang dibaptis sebagai digital native) sudah tidak tahu. Seiring dengan lenyapnya dengungan fan CPU 486 dan disket selebar netbook berisi kurang dari 1/8000 kapasitas flesdis-ku.

Lalu mengapa blogging? Sambil berharap agar orang-orang yang gemas menunggu kerjaanku ga rampung-rampung terhindar untuk membaca postingan ini, aku akan berkata jujur, bahwa aku sedang mengalami perasaan campur baur ruwet pat gulipat neng nong neng gung; dan pikiran berputar-putar di labirin bertingkat seratus plus 9 dimensi. Tetapi kata simbah, itu wajar. Ah, jadi kangen simbahku.


Dulu sewaktu kuliah ga rampung-rampung, aku suka mbolos kuliah dan mampir ke rumah simbah. Rumah beliau hanya sekitar 500 meter dari kampusku. Biasanya beliau sedang ngobrol dengan penjual sayur di dapur. Jika aku tak segera masuk ke dapur, pasti gantian penjual ikan yang masuk ke sana. Setelah itu ada lagi penjual anu, penjual itu, tetangga anu, tetangga itu. Rame. Giliran. Tetapi begitu aku duduk di sana, biasanya mereka segera berlalu. Mungkin maksudnya memberi kesempatan buat cucunya yang dekil ini untuk mengobrol. Di sana, diselingi bau asam dan tanah, suara ayam di kandang pojok rumah, dan bau pengap tembok tua, aku sering mengamati simbahku. Hanya di saat aku sudah kuliah aku baru menyadari bahwa wajahnya memiliki banyak kemiripan dengan wajah ibuku. Perasaan bahwa ia adalah orang yang melahirkan ibuku tampak semakin kuat ketika beliau mendongeng. Dan nasihat yang berulang-ulang kali diucapkan adalah "jangan pacaran dengan mahasiswa. Begitu lulus, kamu akan ditinggal. Begitu kamu yang lulus, akan dipeloroti" Haha ...

Maklum, beliau mungkin produk tahun 1930-an, dan puluhan tahun mengelola kos-kosan. Jadi mungkin referensinya berasal dari keliuh kesah anak kos. Tapi bagaimana mungkin aku bisa menuruti nasihatnya? Lha saat cari pacar yang kuliah saja sulit. Apalagi yang sudah kerja. Atau maksud simbah jangan-jangan disuruh cari pacar yang pengangguran saja?

Tapi kalau boleh jujur, memang dari dulu pacarku orang kuliahan terus. Gonta ganti, ya ketemunya anak kuliahan. Gebetan pun juga anak kuliahan. Positifnya, jadi tahu rasanya kuliah di berbagai kampus. Negatifnya, dalam beberapa hal, simbahku benar. Tetapi itu tak menjadi soal. Karena kehidupan ini lebih luas dari sekadar hal-hal semacam itu. Toh itu sudah terjadi 10-an tahun lalu. Zaman ketika bensin masih seribu perak per liter.

Selain soal pacar, simbah juga sering bercerita bagaimana beliau dulu sampai dapat suami eyang kakung (yang sudah tiada saat aku lahir). Katanya dulu beliau takut diajak pacaran. Takut atau malu atau apapun, sehingga sungkan dan tidak suka. Tetapi orang Jawa punya jurus ampuh: tresna jalaran kulina. Dus, ketika mereka kerja di satu atap sebuah instansi, muncullah benih-benih asmara. Ampuh! Asmara itu tak lekang dihantam kejamnya penjajah Jepang, diserbu dua kali agresi militer Belanda, dan terakhir: tak mempan dimaki dan dihina kerabat yang tidak setuju. Dan jadilah. Berpuluh tahun kemudian, jadilah aku.

AKu hanya membayangkan, apa komentar simbahku jika saat ini aku curhat pada beliau tentang semua hal yang mengganggu pikiranku. Mungkin ia akan turun tangan, atau justru menarik tangan? Atau ia akan menyuruhku makan siang, membuatkan mi instan telur diirisi cabe dan daun bawang lalu menyuruhku bercerita sambil tersenyum. Mungkin tanpa komentar. Mungkin tanpa ekspresi apapun. Seperti emak-emak yang tersenyum mendengar anak balitanya berceloteh menceritakan lilin mainannya telah menembak jatuh bulan. Ah ... paling-paling simbah lalu menyuruhku tidur siang. Dan selesailah permasalahan hari itu. Sederhana dan manjur.

Kalau kupikir-pikir, memang masalahku tidak rampung hanya dengan melahap mi instan. Tetapi proses didengarkan dan diberi ruang untuk mengekspresikan diri membuatku tenang dan sambil tiduran (dengan perut kenyang) bisa merekonstruksi dan memetakan masalahku sendiri dengan lebih tenang dan jernih.

Itulah sebabnya, sidang pembaca yang terhormat, aku saat ini menulis blog. Tentu bukan untuk menggantikan simbahku, tetapi sebagai pengantar makan camilan serta minum kopi, sebelum nanti tiduran sambil merekonstruksi pikiranku sendiri. Siapa tahu dengan demikian solusi alkan muncul dari balik mimpi: solusi paling gila sekalipun.

Toh -- meski ga ada hubungannya -- Tuhan menciptakan sesuatu dengan peruntukan yang bermacam-macam untuk orang yang berbeda-beda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar