Minggu, 15 September 2013

Ulangan



foto apa ni ya? (foto: noel)
Beberapa hari yang lalu aku ulang tahun. Aku sadar betul bahwa usiaku semakin bertambah dan masa pakai tubuhku di dunia fana ini kian berkurang. Jika dulu aku dapat push up 100 kali tiap pagi, atau berlari 3 kilo seminggu tiga kali, maka kini mungkim kini  tidak lagi se-ngoyo itu. Ibarat aset, barang kali diriku juga mengalami depresiasi nilai setiap tahunnya. Bagaimanapun juga, ekor telomerase kian pendek. Seperti kembang api yang makin habis, atau batere laptop yang pasti akan dol. Maka, mungkin suatu saat, ketika “nilai buku” diriku sudah begitu kecilnya (dan biasanya secara akuntansi sudah dianggap tidak ada), maka akan diadakan lelang. Atau lebih buruk lagi,akan digudangkan, menjadi teman karat dan digerayangi tikus. Finished


Kalau boleh milih, aku lebih suka dilelang saja. Konon, pertukaran nilai saat lelang cukup spesial. Contohnya nih, siapa tahu di antara peserta lelang ada satu dua pemodal yang – entah karena alasan historis atau romantis – mau menawarku dengan harga setinggi mungkin. Jadi, meskipun nantinya juga bakal digudangkan (atau dikasih pigura lantas digudangkan), dalam beberapa menit aku akan sedikit mendapat perhatian. Eh, siapa tahu ada yang memasangku di e-bay­.

Tetapi bisa saja tak seorang pun mau menawar, sehingga diam-diam si kurator membawaku ke belakang gedung, dan menumpuknya di tong sampah begitu saja. Lalu dipakai tunawisma sebagai alas tidur. Yah, apapun hasilnya, sepertinya tetap lebih menarik ketimbang digudangkan.

Ah, tapi kan itu tergantung diriku ini apa. Karena tepat malam hari pas hari ulang tahunku (yang konon menjelang detik-detik kelahiranku), aku melihat diriku bukan berupa setumpuk daging dan lemak. Setidaknya karena aku masih bisa berpikir sejauh ini, maka mestinya jauh lebih berharga dari sekadar humanoid ... atau android (apalagi BB). Jika aku hanyalah sebatas aset fisik yang bisa diukur, diraba, dan ditimbang menggunakan indera, maka aku hanyalah sebatas potongan KTP. Sedikit dibumbui status facebook. Plus sekelumit obrolan ringan di sela coffee break. Namun, kayaknya aku lebih berharga ketimbang motor yang kupakai atau sederet angka di buku tabungan. Lebih berharga pula ketimbang pengakuan yang entah wujudnya kayak apa (dan entah ditaruh di mana). 

Dan – dengan sedikit sombong – aku merasa lebih berharga ketimbang apapun yang kalian pikirkan dan bayangkan. Karena harga itu kan hanya sekadar simbol untuk menentukan nilai tukar. Sementara aku tidak ingin ditukarkan menjadi apapun: menjadi artefak di museum miskin, aset mati di gudang kotor, atau alas tidur tunawisma.  Terlebih lagi, aku ini mustahil ditukarkan. Semua di bawah langit ini hanya bisa merusak fisik dan bla bla bla pengakuan, nama besar, prestasi, yang abstrak. Tetapi tidak mampu mengubah sesuatu yang di dalamnya aku mengambil bentuk sendiri secara sadar dan merdeka. Salam Separatooozzz. Bagaimana kita mengukur waktu sebelum Big Bang?

Apalagi – samar-samar – aku merasakan aroma hutan, angin gunung, dan pasir pantai di sela-sela jari kakiku. Ada semacam bab yang terlewatkan ketika melihat ini semua sekadar aset. Ampuhnya lagi, bab tersebut berlaku sepanjang masa, dan mengalami peningkatan nilai setiap waktu. Seperti emas. Seperti tanah. Seperti BBM. Seperti – ehem – cinta.

Lalu setelah mengalami bad mood seharian, aku mencoba berani menjadi sosokku. Seseorang menyebut-nyebut kehendak bebas. Seseorang lagi menyebut-nyebut kebebasan kehendak. Tetapi aku memiliki keinginan. Mungkin segila Tom Hanks dalam Saving Private Ryan, atau seabsurd Columbus berpacu ke India (tapi nyangkut di Indian), atau – bisa jadi – sekonyol anak kelas 1 SD yang ngomong sama bulan. Tetapi itu bukan lagi soal. Meski juga belum berupa jawaban.

Ah, tulisanku kayak anak SMP lagi galau gara-gara jerawatan. Jangan bilang-bilang kalau aku yang bikin tulisan ini yak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar