Senin, 29 September 2014

Void

Entah bagaimana, aku lalu memikirkan kesendirian. Ini tentu bukan hal yang tabu. Memang, manusia dikenal sebagai makhluk yang hidupnya berkoloni, membentuk masyarakat, saling menopang (dan saling menghancurkan). Mirip bakteri. Virus. Makhluk sosial, kata guruku SMP dulu. Tetapi itu bukan berarti bahwa manusia tidak membutuhkan kesendirian. Dan satu-satunya kesendirian yang bisa dicapai seseorang adalah kesendirian relatif terhadap masyarakat. Menciptakan jarak, membangun waktu jeda: sehingga ada waktu untuk bereaksi terhadap apa yang terjadi di "bawah matahari".

Ibuku sering memberi ilustrasi pohon pisang. Katanya, segerombolan tunas pisang memang harus diceraikan agar bisa tumbuh besar dan dan berbuah baik. Dan itulah yang sering dilakukan bapakku dulu. "Memencarkan" tunas-tunas muda pohon pisang yang mungkin tingginya baru 1 meter, untuk ditanam di tempat terpisah. Di tempat baru itu, si tunas muda akan menumbuhkan tunas-tunas baru, hingga suatu saat nanti si tunas-tunas paling baru akan mendapatkan kesempatan untuk dipisahkan. Hidup berlangsung melalui periode-periode demikian; bersatu, berpisah, bersatu, dan berpisah ....

Hal itu menyebabkan aku tidak percaya pada komunitas sebagai satu-satunya jalan keluar. Komunitas yang baik hanya bisa terus baik jika individualitas (ini kalau aku tak salah sebut) masing-masing anggotanya dihargai. Individualitas di sini bukanlah "individualitas" berkonotasi negatif (yang sering kita dengar dikaitkan dengan individualistis, egoisme, dan - bahkan - keserakahan). Melainkan penghargaan atas individu dengan segala corak dan ragamnya. Selera, gaya, keinginan, tujuan, maksud, bahkan bahasa dan "bahasa" yang digunakan untuk mewujudnyatakan dirinya di tengah komunitas. Lebih luas lagi, di tengah masyarakat.


Komunitas petani organik misalnya, hanya akan impoten jika tidak didukung oleh kemampuan dan niat masing-masing anggotanya (dengan cara dan gaya sesuai selera masing-masing) untuk bertani organik. Apa yang terjadi malah formalisasi: komunitas menjadi agenda tertentu LSM atau pemerintah, dengan keuntungan tertunggi di tangan elit, bukan di tangan petani yang tiap haru bergulat melawan lumpur dan wereng. Jadilah kata "komunitas" mudah tergelincir menjadi fasis berkedok kerakyatan.

Banyak program yang mengandaikan penyeragaman. Pun jika keragaman diberi tempat, pada akhirnya hanya akan diberi label baru; penyeragaman lapis berikutnya. Misalnya nih, keragaman budaya diakui dan dihargai, tetapi harus dibingkai dalam "budaya etnik", kemudian dibungkus dan dijual dengan banderol "pariwisata oriental", "indonesia never ending asia", dan seterusnya. Penganekaragaman menjadi komoditas, dan komoditas lebih suka penyeragaman tertentu (di level berikutnya: brosur, iklan, fasilitas minimum yang tersedia) dengan gaya yang sudah dikenal oleh mereka yang akan membeli komoditas tertentu. Dan siapapun yang dibeli, akan dihargai sebesar selisih nilai jual dikurangi (sebagian besar) keuntungan yang diambil broker.

Ah sudahlah. Bosan, ngomong topik beginian terus.

Kembali ke soal kesendirian. Menurutku, setiap orang memiliki porsi kesendirian masing-masing yang layak dihormati. Di satu sisi, kesendirian adalah hak asasi yang tak boleh dilanggar siapapun. Di sini, kesendirian merupakan ruang (dan waktu) ketika individu bertemu dan berdialog dengan dirinya sendiri, menginsyafi apa yang ia inginkan dan apa yang akan ia lakukan, dengan cara bagaimana. Kesendirian ini bisa dilakukan dengan menyendiri, tetapi bisa juga dilakukan di tengah keramaian dengan menciptakan kesendirian -- bahkan di tengah obrolan.

Kesendirian yang baik justru akan memberi perhatian lebih pada individu lain, karena kesendirian itu muncul sebagai buah dari rasa menghargai dan menghormati kediriannya; dan pada gilirannya menghargai dan menghormati keberadaan individu dan lingkungan di sekitarnya sebagai suatu hadiah yang diberikan oleh bergantinya hari. Kesendirian demikian justru akan memiliki "subversi" yang diperlukan untuk membongkar kesendirian jenis lain yang berpusat pada dunia kecilnya sendiri.

Namun di sisi lain, kesendirian itu akan menjadi egosentris memuakkan jika dilakukan hanya demi kesendirian itu sendiri. Gampangnya, kesendirian demi kesendirian mengandaikan ketiadaan yang lain (walaupun istilah "kesendirian" itu sendiri muncul karena eksistensi "yang lain"). Maksud saya dengan kesendirian yang hanya ada untuk dirinya sendiri adalah jenis kesendirian yang tidak memberi peluang pada interaksi yang "memberi" kepada individu lainnya, tetapi justru interaksi yang "meminta" lingkungannya untuk memberi lebih pada si penyendiri: perhatian, dukungan, pujian, label, nama, dan - bahkan - simpati.

Seperti tunas pisang yang mengandaikan bahwa kesendiriannya adalah jalan terbaik baik munculnya tunas-tunas baru. Bukan tunas yang dalam kesendiriannya menganggap musuh tunas-tunas lainnya, sehingga kediriannya diakui, duangkat, dipopulerkan.

Aku jadi teringat dengan kata "persaingan". Biasanya dikaitkan dengan "gloalisasi". Haha ... istilah yang "lawas" banget. Persaingan dalam terminologi ini erat kaitannya dengan the climber, psikologi ego, pasar bebas, kebebasan, pencapaian, dan ukuran. Tetapi bagaimana jika ukuran-ukuran yang selama ini kita lihat sebagai parameter persaingan (yang memunculkan istilah "winner"dan "loser") adalah bohong? Bagaimana jika ukuran-ukuran itu diciptakan tanpa sengaja, bermula dari transaksi paling sederhana di sebuah warung kecil, yang mengandaikan "penambahan poin ukuran kemanusiaan" sama dengan setiap sen yang didapat dari selisih harga.

Lalu bagaimana ketika dunia (barat) mulai kerap menengok ke dunia timur (oriental, katanya), dan berusaha memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional yang kerap terabaikan setelah dunia materi teroenuhi? Ternyata bukanlah perubahan ukuran, melainkan komodifikasi yang menempatkan skala spiritualitas dan emosional di dalam kalkulator penghitung laba. Jadi, lagi-lagi adalah komodifikasi.

Kesendirian yang satu menciptakan kebersamaan sebagai dunia tanpa syarat dan menghargai kesendirian itu sendiri; sedangkan kesendirian yang lain bermula dari penghargaan pada kesendirian, tetapi justru menghancurkan kesendirian itu sendiri. Keduanya sama-sama utopis. Keduanya sama-sama dilakukan.

Ah, mungkin kata yang tepat bukan kesendirian. Tetapi sikap yang dipilih sebagai tanggung jawab individu.

Tetapi sebenarnya tulisanku ini - lagi-lagi - adalah omong kosong yang mungkin - bisa jadi - adalah buah dari kesendirian yang egoistik. Aku kok nggak suka dengan tulisanku ya. Tetapi sayang kalau nggak dipublish. Kupublish ah.

Mbuh lah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar