Sabtu, 30 Juli 2011

Jagongan Wagen Juli 2011


Sedikit jauh di luar kota. Lampu tempel minyak tanah yang disetel terlalu besar. Bayang-bayang bergulana di terpal oranye … hap … cakar bacem. Krauk … krupuk beras. Ji mo ji mo lu mo nem ji ji … pelajaran nembang serak menyelusup dari radio transistor. Sekali lagi angin menyemilir dari sawah di belakang. Lelampuan berlarian dari Yamaha dan Suzuki dan Honda di jalan beraspal di seberang sawah. “Tegal Jenggotan,” katanya.
Pulang dari nonton pentas yang ternyata di luar dugaan tidak sebagus yang kubayangkan sebelumnya, barangkali satu dua gigitan sate usus bisa mengobati dahaga filosofis malam tadi. Pun di angkringan pedalaman tengah kampung yang belum pernah ku – kami – kunjungi. Tapi ini masih malam.
Satu hal yang kupikirkan, mengapa sebuah pementasan bisa tertampil seperti itu. Ah, tapi bukan pada posisi dan kredibilitasku untuk menilai – apalagi menghakimi – sesuatu. Apa sih yang bisa didapat dari ranah gratisan. Sudah lumayan dapat setup jambu dan jahe panas kenthel. Namun barangkali ketika istilah “biasa” menjelma menjadi “keharusan”, barangkali ada ratusan penonton yang kecewa. Bung, tidak biasanya Jagongan Wagen di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja menampilkan performance yang – maaf – terasa garing. Memang, mungkin mataku menipu.

Sang teplok bergoyang sedikit tersenggol masnya mengambil japitan gorengan.
Benar. Tidak pada tempatku mengkritik suatu pentas. Sudah syukur di zaman penuh pat gulipat ini ada sekelompok penggiat teater yang berkenan menyumbangkan ekspresinya demi sebuah keberadaan kebudayaan yang kian marut di lahan berbau plastik ini. Bukan tanpa modal tentunya. Duit sponsor yang mustinya bisa menjadi gadget terbaru tiap bulan itu disulap menjadi pentas gratis. Pula, biasanya brand PSBK dan JW-nya merupakan jaminan mutu: sedap di mata, eksotis di hati, puas dikunyah-kunyah sampai jauh malam. Namun – seperti kata sang MC yang kikuk – malam ini tadi memang spesial.
Spesial karena ada Heru Kesowomurti. Spesial karena publikasi di facebook tidak menguraikan performance apa yang akan ditampilkan. Spesial pula karena kemudian para pemain yang sudah berkaliber stage-to-stage itu menampilkan parodi yang sepertinya – maaf – salah tempat.
Apakah ini adalah konsep baru yang terlambat kucerna? Atau sampakan yang melompati batas imajiner antara “obrolan pinggir ratan” dengan “rekayasa kondisi” yang layak untuk dipentaskan? Menerabas batas imajiner antara mencairkan suasana dengan menghargai kehadiran penonton? Tapi tak urung aku (dan para penonton yang tidak se-mbludak biasanya) tertawa juga, hanyut juga, dan – sungguh – mainnya tidak jelek. Cuma … ah apa ya ... sekali lagi salah tempat mungkin (atau lengkapnya: salah tempat latihan). Kecuali jika memang edisi kali ini merupakan dipersembahkan untuk pandemen sinetron.
Motor berhenti. Gadis seusia SMP turun. Bapaknya (atau kakaknya) masih menunggu di atas motor. “Jeruk panas setunggal,” katanya. Barangkali mirip kalau ia menjawab pertanyaan gurunya di kelas. Dan pasti tidak seperti saat menjawab pertanyaan penonton dari atas panggung yang menyilaukan.
Jangan-jangan ada cerita di balik cerita? Jangan-jangan ini adalah persekongkolan jenius untuk menyindir para penonton yang tersinyalir mulai nonton teater tanpa menyapa esensi, menganggapnya sebagai bagian paket bayar SPP mahal di UGM, atau rajin menonton pentas seni sebagai ungkapan eksistensi gairah pemuda 22 tahun dalam mencari cermin untuk melukiskan dirinya – yang lebih eksotik jika sekali dua kali punya pengalaman “pernah berada di suatu tempat”?
Yang jelas, ternyata memang ada batas imajiner yang mudah dilanggar: “harga pemain” versus “harga imajiner” yang diberikan penonton; trend versus hilangnya kewaspadaan; serta batas antara hiburan-ringan-mudah -dilupakan (seperti alkohol bagi orang tertentu, dan seks bagi orang tertentu lainnya) versus hiburan yang mengendap.
Seperti biasa, tulisanku tak pernah mengenal ujung. Namanya juga mencari momen tepat untuk tidur dan googling mimpi.
NB: Diam-diam saya mendoakan agar JW di PSBK dapat langgeng selanggeng-lenggengnya, dengan kualitas yang sebagus mungkin, dan tercukupi dalam banyak hal, tapi tetap menjadi diri sendiri.
Foto: Jogjatrip.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar