Minggu, 10 Juni 2012

Sejarah Tidak Penting


“Pasti ada maksud, mengapa Tuhan membiarkan kita lahir di dunia ini sendiri-sendiri (tentu kecuali kasus kembar siam, misalnya). Pasti ada sebab, mengapa kia tidak lahir tanpa pasangan, kekasih, cinta mati kita, dalam satu kali melahirkan. Seandainya demikian, hidup akan jauuuh lebih sederhana. Sinetron-sinetron akan tidak laku dan kehilangan sengatnya. Namun, sekali lagi … pasti ada maksud tertentu”
Mon ami, ini saatnya aku curhat. Dalam sebuah blog yang – thx God – anonymous ini, rasanya tak salah jika di hari Minggu yang nyaman dan tenang ini aku sedikit mengungkapkan atau lebih tepatnya “menelorkan” … membersihkan ingus kering … uthik-uthik upil, ngorek curek. Seperti yang sering kutulis di blog-ku dulu yang sudah koit, menulis bagiku adalah sarana agar tetap dianggap waras. Aku ini waras tetapi tidak gila.

Nah, begini ceritanya. Seperti yang barusan aku SMS-kan ke seorang temanku, “Ra duwe yang ki anugerah.” Tidak punya pacar itu anugerah. (Perkara kalian akan membatin bahwa ini adalah suara sarkastik agar Tuhan tersindir, itu soal lain. Ga ada gunanya membuat Beliau tersindir. Lagi pula aku bukan orang yang suka menyindir. Say it or telan saja!) Bagaimanapun juga, tidak punya pacar adalah suatu hak asasi setiap manusia. setiap orang punya hak untuk menerima suatu kondisi yang di dalamnya ia tak memiliki kendali 100%. Dan tak satupun manusia memiliki kendali 100% atas sesuatu, bukan?

Hahaha … aku kangen dengan tulisanku sendiri yang muter-muter kayak jejak jangkrik gini. Hahaha. (Itulah sebabnya tulisan ini disebut blog. Bukan The Fundamental of Thermodynamics in Planet Tatooine by Master Jedi.)


Melanjutkan soal SMS-ku, aku jadi ingat suatu hari dahulu kala tatkala aku barusan putus dengan pacar … eh … mantanku. Katakanlah sekitar tahun 2001 (zaman es di kutub masih banyak). Saat itu berbagai ucapan “belasungkawa” mengalir. Sayang, tidak disertai sekadar sumbangan tali kasih. Akibatnya, aku merasa menjadi korban. Sah untuk berurai air mata menjelang tidur. Sah untuk bermalas-malasan di ranjang berjam-jam sebelum bangun tidur … bolos kuliah … main gitar sampai sore, nongkrongin kos teman sampai pada bosan, dan menggubah banyak sekali puisi yang nadanya merengek-rengek minta keadilan dan agar Tuhan “membuka” mata-Nya. Aku jadi manja.Tapi memang – bahkan terjadi sampai sekarang – bahwasanya menit-menit paling berat adalah saat menjelang tidur. Batas antara sadar ke tidak sadar. Saat sesuatu yang di bawah sadar berlompatan keluar seperti katak-kataknya Nabi Nuh di Mesir. Sungguh, tak sedap walaupun ditambahi micin dan saus kerang sekalipun.

Putus cinta yang kedua terjadi sekitar 5 tahun lalu. Saat itu aku “dipaksa” untuk lebih profesional. Melupakan rencana-rencana “profesional” yang kandas, lantas menciptakan ranah baru yang saat itu terasa lebih baik. Walaupun lama setelahnya aku menyadari bahwa ranah tersebut tak ubahnya seperti pelarian dari lorong yang satu ke lorong yang lain. Kabar baiknya, teman-temanku sudah mulai profesional. Mereka tak memanjakan aku. Realitas datang tak bisa dihindari, tetapi justru itulah yang kubutuhkan saat itu. Satu-satunya hal yang patut disayangkan adalah peristiwa itu tanpa sadar mengubah sasaran taktis dalam hidupku menjadi mirip bangunan kalang kabut 5 tahun sebelumnya. Namun saat itu sungguh aku belajar banyak. Jauh lebih banyak ketimbang kuliah 8 tahunku. Dan aku bisa melupakannya dengan lebih cepat. Meski kadang tak tuntas.

Terakhir aku putus dengan pacarku (yang lain lagi) terjadi beberapa bulan lalu. Sangat berat, kompleks, multidimensi, dan melibatkan banyak orang. Tidak cukup disebut sebagai “orang ketiga”, tetapi sampai ke “orang keempat, kelima, keenam” .. bahkan jamak. Di situ aku mulai belajar untuk tidak memercayai logikaku. Karena setiap orang yang patah hati pasti tahu bahwa kehidupan memiliki silogisme sendiri yang kadang absurd. Dan terjadilah. Tepat saat hidupku sedang surut di dasar terendah dalam satu dasawarsa terakhir. Aku hanya bisa membandingkannya dengan peristiwa 12 tahun lalu. Celakanya, kini aku tak punya banyak teman. Kalaupun ada, perspektif mereka sudah “terlalu dewasa”, “terlalu tua”, seakan soal pacar-pacaran adalah hal sepele, jauh lebih spele ketimbang memberi makan anak-anak, menjaga istri bahagia, dan – tentu saja – mengejar karier. Aku tidak mendebatnya. Mungkin memang demikian. Pun bahwasanya tingkat kegawatan suatu peristiwa tidak pernah tidak subjektif. Dalam dunia subjektivitasku yang samar, aku terpelanting.

Dan unfortunately, aku merasa kesepian sekaligus sendirian. Tidak bisa mencari kambing hitam, tidak bisa menyalahkan Tuhan, dan stuck. Aku berusaha melakukan sesuatu dan menggapai apapun yang bisa dipegang agar tidak terjerembab. Namun semua menjadi tidak nyata. Seperti memeluk hologram-nya Star Trex. Dan hidup ini menjadi sebuah panggung hologram yang besar. I wanna shut down the operating system. ASAP. Tetapi aku bukan Neo, bukan Captain America, dan bukan Jesse James. Bukan Sri Sultan HB IX! Aku tidak melakukan apa-apa.

Lalu aku menunggu.

Indeed, satu-satunya hal yang setia di alam raya setelah big bang adalah sang kala. Waktu. Selain menyebalkan, waktu bisa menjelaskan … pelan-pelan dan sabar. Hingga suatu saat aku merasa beruntung bahwa hari ini aku masih di sini dan sendiri.

Dompetku masih cekak, salah satu tabunganku baru saja hangus karena tak pernah ada saldonya, tetapi aku merasa lebih kaya. Bahwa ini semua bukan soal status atau grade. Tidak punya pacar itu juga hak. Mencintai siapapun itu juga hak. Dan dalam kesendirian kali ini, mungkin aku bisa membersihkan bugs dan temporary files yang mengotori sistemku. Hehe. Suwer, kotoran-kotoran itu barangkali menumouk sejak aku mengalami first love in the forst sight sekitar .. ehem … kelas 1 SMP duluuuuu kala.

Berbahagialah sobat-sobatku yang sudah menikah, yang sudah momong anak, yang sudah sibuk membangun rumah; karena fokus hidupnya sudah berkembang ke episode selanjutnya. Berbahagialah mereka yang baru saja kawin, baru saja dapat pacar, atau mau menikah; welcome to the jungle. Berbahagialah juga mereka yang masih sendirian … itu artinya dia pemberani. Jagoan.

Jika Tuhan menganggapmu butuh seseorang, Ia pasti memberi. Tapi kalau Ia tidak menganggap demikian, anggap saja sebagai pujian. Karena toh kalian beruntung bahwa Sang Pencipta menganggapmu cukup layak jalan tanpa harus ditopang orang lain. Atau kalau boleh secara lebih rohani, dirimu seorang sudah mampu mencitrakan gambaran Pencipta tanpa harus dipadukan dengan orang lain.

Tapi jika keadaan berubah, katakanlah misalnya sore ini sosok imajiner yang ada dalam benakku seumur hiduku tiba-tiba berwujud nyata di hadapanku … so … why not?

Foto: salah satu properti di pentas “Mozo-Mozo”, Taman Budaya Yogya, 7 Juni 2009. Captured by Noel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar